ADA banyak alasan mengapa proyek reklamasi di Teluk Jakarta harus dihentikan. Reklamasi ditenggarai merusak lingkungan dan hanya bermanfaat bagi kalangan tertentu, yakni pemodal besar.
Reklamasi juga melanggar hak rakyat yang dijamin Konstitusi UUD 1945. Reklamasi telah melepaskan hak penguasaan negara atas bumi Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kepada pengusaha properti. Hal tersebut tentu melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Reklamasi juga mengurangi wilayah kelola nelayan tradisional dan memperparah pencemaran. Dengan itu, nelayan tradisional kehilangan sumber kehidupannya.
Hal ini melanggar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan dan bagi semua warga negara.
Jika dilanjutkan, proyek ini akan menggusur permukiman nelayan atas nama penertiban. Padahal proyek ini ditujukan untuk pembangunan bagi segelintir kelas ekonomi atas.
Ini jelas melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin Hak untuk Bertempat Tinggal dan Mendapatkan Lingkungan yang Baik dan Sehat bagi semua warga negara.
Dengan pembangunan reklamasi, banjir di Jakarta akan semakin menggila. Reklamasi menghilangkan fungsi daerah tampungan air.
Aliran sungai akan melambat sehingga terjadi kenaikan air di permukaan. Akibatnya, sedimentasi bertambah dan terjadi pendangkalan muara yang berefek pembendungan yang signifikan.
Frekuensi banjir pun meningkat karena kapasitas tampung sungai yang terlampaui oleh debit sungai. Belum lagi Teluk Jakarta menjadi tempat bermuara sekitar 13 sungai.
Tidak hanya itu, Jakarta Utara menghadapi penurunan muka tanah sejak 1985-2010 yang mencapai -2,65 meter di Cilincing hingga -4,866 meter di Penjaringan. Data ini merupakan penelitian Nicco Plamonia dan Profesor Arwin Sabar.
Beban pembangunan telah melampaui daya dukung dan daya tampung (carrying capacity) Jakarta yang memperparah bencana ekologis berupa banjir rob di sepanjang teluk Jakarta.
Pada saat ini saja, di setiap musim hujan Jakarta selalu terendam banjir. Banjir dalam skala luas bisa terjadi akibat reklamasi pantai utara Jakarta.
Reklamasi adalah proyek warisan Orde Baru yang berpihak pada pemodal. Proyek ini pertama kali ditetapkan oleh Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tanpa adanya kajian dan pertimbangan lingkungan hidup (sebelum adanya UU`PPLH dan Tata Ruang) serta penuh dengan kolusi dan korupsi.
Reklamasi adalah proyek Orde Baru tanpa partisipasi dan konsultasi masyarakat serta prinsip perlindungan warga nelayan tradisional dan lingkungan hidup. Kini, Keppres 52 Tahun 1995 telah dicabut oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2008.
Reklamasi merusak lingkungan hidup. Reklamasi telah dinyatakan tidak layak dan merusak lingkungan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Reklamasi dan Revitalisasi Teluk Jakarta.
Putusan pengadilan memang membatalkan, tetapi tidak menghilangkan penilaian ketidaklayakan lingkungan hidup dari Reklamasi Pantura Jakarta.
Reklamasi menghancurkan ekosistem sumber pasir urugan. Setiap hektar pulau reklamasi akan membutuhkan pasir sebanyak 632.911 meter kubik. Jika dikalikan luas pulau reklamasi yang direncanakan 5.153 hektar, maka akan membutuhkan sekitar 3,3 juta miliar ton meter kubik pasir.
Pengambilan bahan urugan (pasir laut) dari daerah lain akan merusak ekosistem laut tempat pengambilan bahan tersebut. Hal ini juga dikhawatirkan memicu konflik berdarah dengan nelayan lokal seperti di Lontar, Serang-Banten,kerawang dan wilayah lain yang di ambil material uruknya untuk Reklamasi.
Reklamasi mengancam Jakarta sebagai kawasan strategis nasional. Jakarta ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berfungsi penting bagi kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Jika reklamasi diteruskan dengan berbagai dampak lingkungan hidup di atas, maka akan menghancurkan Jakarta sebagai ibu kota negara, situs sejarah nasional, dan kawasan ekonomi nasional yang penting.
Reklamasi adalah sebuah proyek rekayasa lingkungan. Bentang alam Jakarta terbentuk secara alamiah melalui proses akresi yang berlangsung dalam waktu lama. Proses tersebut terjadi dengan terbentuknya 13 sungai yang mendorong sedimentasi dan kemudian mencapai hilir di Teluk Jakarta.
Hasil sedimentasi ini lalu mengeras dalam waktu ratusan hingga ribuan tahun. Karena terjadi secara alamiah, maka proses ini tidak merusak lingkungan.
Jadi, tidak pernah terjadi reklamasi alamiah di Jakarta, karena reklamasi merupakan rekayasa lingkungan yang mengabaikan kondisi Teluk Jakarta.
Reklamasi menghancurkan ekosistem di Kepulauan Seribu. Pertumbuhan karang di Kepulauan Seribu akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sedimen. Gangguan pertumbuhan akan semakin parah dengan adanya perubahan arus yang semakin meningkat dan menghantam pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Perubahan arus akan menggerus gugusan pulau kecil dari Kepulauan Seribu yang terdekat Teluk Jakarta. Akibatnya pulau-pulau ini akan rusak dan bahkan lenyap.
Salah satu pulau kecil yang bersejarah dan bisa terdampak adalah Pulau Onrust sebagai situs sejarah perkembangan VOC di Indonesia.
Reklamasi merusak tata air di wilayah pesisir. Jika reklamasi dilakukan seluas 5.100 hektar dan Giant sea wall (tanggul raksasa) maka sistem tata air di wilayah pesisir lama akan rusak. Kerusakan sistem tata air terjadi setidaknya pada radius 8-10 meter.
Pasalnya, reklamasi akan menambah beban sungai Jakarta di saat musim hujan. Jika air sungai terhambat keluar, maka akan menyebabkan penumpukan debit air.
Reklamasi menghancurkan mangrove muara angke dan habitat satwa yang dilindungi. Hutan bakau sebagai tempat bertelur dan habitat ikan-ikan kecil (nursery) dan hutan mangrove penangkal abrasi akan digantikan oleh tumpukan pasir dan semen.
Pada tahun 1992, Jakarta memiliki 1.140,13 hektar yang dikonversi seluas 831,63 hektar menjadi permukiman elit, lapangan golf, kondominium dan sentra bisnis di kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk (PIK).
Saat ini, hutan mangrove di Teluk Jakarta tersisa seluas kurang lebih 25,02 hektar dan akan rusak secara perlahan karena sirkulasi arus yang berubah.
Giant Sea Wall atau tanggul laut juga akan menambah tekanan dan mengakibatkan kerusakan suaka marga satwa tersebut.
Oleh Deputi 1 Kawal Lingkungan Hidup (Kawali)