Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
KEBIJAKAN perdagangan benih lobster, atau benur, menarik diamati dan dibedah. Kebijakan ini diiringi perdebatan seru antar kelompok kepentingan.
Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) yang lama, Susi Pudjiastuti, mengambil kebijakan menutup kran ekspor benur. Para nelayan penangkap benur berteriak karena merasa dirugikan. Kehilangan pendapatan.
Masa tugas Susi Pudjiastuti selesai. Digantikan Edhy Prabowo. Kebijakan pun berubah. Menteri baru membuka kran ekspor benur.
Nelayan penangkap benur bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Tapi banyak pihak juga yang uring-uringan. Banyak pihak merasa kebijakan ini merugikan pendapatan negara.
Juga dikhawatirkan terjadi eksploitasi penangkapan benur secara besar-besaran yang dapat merusak ekologi. Selain itu, ekspor benur juga dianalogikan dengan ekspor bahan mentah: tidak ada nilai tambahnya. Sehingga merugikan negara.
Tetapi, ada permasalahan yang lebih serius dengan pembukaan kran ekspor benur ini. Kebijakan ini berbau kolusi. Tidak semua orang bisa ekspor. Semua diatur melalui alokasi pemberian izin kuota ekspor.
Yang dapat mungkin hanya orang dekat saja. Atau orang yang berani bayar. Buntutnya, menteri KP terjaring KPK.
Kebijakan serupa juga terjadi di Kementerian Pertanian, terkait impor produk hortikultura dan pertanian seperti bawang putih, bawang bombay, dan lainnya. Bahkan, dalam hal ini, ada dua tingkat perizinan. Di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Setelah mendapat izin dari Kementerian Pertanian, namanya Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), kemudian harus mendapat izin lagi dari Kementerian Perdagangan, namanya Surat Persetujuan Impor (SPI). Sehingga rente ekonomi semakin panjang dan semakin sempurna.
Bukan rahasia umum, rakyat biasa sulit mendapatkan izin-izin tersebut. Seperti halnya benur, yang dapat izin impor produk hortikultura, RIPH dan SPI, mungkin hanya pengusaha-pengusaha yang dekat penguasa saja.
Atau pengusaha yang berani bayar, berkolaborasi dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.
Seperti yang terjadi pada kasus OTT bawang putih pada Agustus 2019 yang melibatkan anggota Komisi VI DPR. Siapa saja yang terlibat, apakah sampai puncak pimpinan, publik tidak tahu. Gelap.
Kebijakan pemberian izin kuota ekspor dan impor jelas rentan penyalahgunaan kekuasaan. Pada akhirnya kebijakan ini hanya membagi-bagi kue kuota, sekaligus berfungsi sebagai proteksi bisnis. Oleh karena itu, merugikan ekonomi dan harus segera dihentikan.
Ekspor dan impor adalah komponen ekonomi dalam perdagangan internasional yang cukup penting. Pendekatan kebijakan ini dapat ditinjau dari aspek ekonomi dan politik, ekonomi politik.
Untuk aspek ekonomi, kebijakan ekspor-impor adalah untuk meningkat ekonomi secara optimal. Untuk aspek politik, kebijakan ekspor-impor menentukan kelompok masyarakat mana yang diuntungkan atau dirugikan: apakah konsumen, produsen, nelayan penangkap benur, nelayan penangkap lobster?
Dalam hal benur, harus dievaluasi apakah ekspor lobster meningkat signifikan selama periode larangan ekspor benur di era Susi Pudjiastuti? Apakah jumlah nelayan penangkap lobster bertambah? Apakah pendapatan nelayan lobster bertambah? Atau hanya menguntungkan satu atau dua eksportir lobster tertentu saja?
Juga perlu dipelajari, berapa besar populasi benur saat ini, dan 5 tahun ke depan? Berapa banyak benur yang diperlukan untuk budidaya lobster? Apakah ada surplus benur?
Kalau ada, apakah produksi lobster dapat ditingkatkan? Apakah jumlah nelayan budidaya atau eksportir lobster dapat ditingkatkan? Kalau produksi lobster meningkat, apa dampaknya terhadap harga lobster domestik atau internasional.
Kalau setelah dipelajari dan kesimpulannya adalah membuka kran ekspor benur, maka mekanisme ekspor sebaiknya menggunakan instrumen tarif. Nilai tarif bisa dihitung agar biaya produksi lobster di negara importir nantinya akan lebih tinggi dari Indonesia.
Sehingga lobster Indonesia tetap lebih kompetitif. Atau pemerintah juga bisa memberi insentif perpajakan kepada budidaya lobster agar produksi domestik meningkat.
Kalau populasi benur sudah cukup langka, tarif ekspor bisa dikenakan tinggi sekali sehingga tidak ada pembeli di luar negeri. Kebijakan ini menghapus rente ekonomi yang dinikmati oleh para penguasa dan segelintir pengusaha.
Begitu juga dengan izin kuota impor produk hortikultura. Kebijakan ini sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan tarif. Kalau produk impor tersebut tidak ada saingan produksi dalam negeri, seperti bawang putih atau bawang bombay, maka tidak perlu dikenakan tarif impor. Alias nol persen.
Kalau ada saingan produk dalam negeri, maka produk impor tersebut bisa dikenakan tarif sebagai proteksi. Terutama kalau produk dalam negeri kurang kompetitif seperti tepung cassava, beras, beras ketan, dan banyak lainnya. Dalam batas tertentu, proteksi perdagangan terkait bahan pangan bisa dimaklumi di dunia internasional (WTO).
Selain itu, negara produsen asal impor juga harus dibuka seluas-luasnya agar terjadi persaingan antar negara produsen. Dengan harapan harga internasional dapat turun. Misalnya, impor bawang putih boleh dari China, India, Taiwan, Spanyol, atau lainnya. Pemerintah hanya mengeluarkan regulasi tentang keamanan produk, harus bebas bakteri atau hama, dan semacam itu. Titik.
Jumlah importir juga harus dibuka sebanyak-banyaknya agar tidak terjadi penguasaan pasar (monopoli atau kartel) oleh segelintir pemodal kuat yang bisa membuat harga jual di konsumen melonjak.
Semakin banyak importir maka pasar bekerja semakin efisien. Dijamin importir hanya bisa mendapatkan keuntungan normal saja. Kalau sudah seperti ini, maka pengusaha besar yang tadinya menguasai pasar pasti tidak tertarik lagi.
Sehingga kue ekonomi impor akan beralih dari segelintir pengusaha besar tersebut ke banyak pengusaha menengah kecil.
Oleh karena itu, pembagian izin kuota impor, RIPH dan SPI, untuk hortikultura hanya menimbulkan rente ekonomi. Kebijakan ini salah total.
Hanya menguntungkan sekelompok kecil penguasa dan pengusaha yang dekat dengan penguasa. Tetapi merugikan semua pihak lainnya, khususnya konsumen karena harganya menjadi lebih tinggi.
Sudah waktunya kita memberantas semua kebijakan yang menimbulkan rente ekonomi.
[***]