Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SUATU hari di bulan Maret 1964 Sukarno marah-marah.
Duta Besar Amerika, Howard Jones, kena damprat. Ia ditunjuk-tunjuk Sukarno dalam sebuah resepsi yang dihadiri oleh para diplomat dari sejumlah negara.
Rupanya Sukarno tersinggung. Editorial mingguan terkenal Amerika menulis bahwa bantuan tidak akan diberikan kepada Indonesia kalau tidak menarik pasukan dari Malaysia.
Waktu itu Indonesia dan Malaysia sedang gencar berkonfrontasi yang berbuntut protes, Indonesia keluar dari PBB pada Januari 1965.
Saking jengkel dengan Amerika yang berdiri di belakang Malaysia, Sukarno akhirnya memaki dengan ucapannya yang terkenal:
“Go To Hell With Your Aid …”.
Sejak awal kemerdekaan kiprah Sukarno di lapangan diplomasi banyak dibantu oleh para diplomat patriot, seperti Haji Agus Salim, L.N Palar, Mohamad Roem, Sutan Sjahrir, hingga urang Sunda kelahiran Tasikmalaya, Djuanda Kartawidjaya, yang antara lain memperjuangkan UNCLOS dan mendeklarasikannya pada 1957.
Di era setelah Sukarno, Soeharto mampu memainkan peran penting Indonesia di ASEAN dan juga negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam).
Lapangan diplomasi nasional saat itu menampilkan tokoh-tokoh seperti Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, hingga Ali Alatas.
Kehadiran Soeharto di Sarajevo, Bosnia, di tengah konflik bersenjata melawan Serbia pada 1995 menjadi buah bibir yang dikenang banyak orang.
Ia mampu menampilkan diri sebagai pemimpin dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar dunia, dan di tengah penderitaan umat di sana ia menyumbang sebuah masjid yang membawa harum Indonesia.
Saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya jejak diplomasi patriotik ala para pendiri bangsa ini juga diikuti oleh Rizal Ramli, tokoh nasional yang kini erat dengan sebutan Penyambung Suara Rakyat.
Rizal Ramli dengan berani mengubah nama Laut China Selatan yang dipersengketakan secara sepihak oleh Tiongkok, menjadi Laut Natuna Utara.
Upayanya ini tak lain untuk mengukuhkan kedaulatan teritorial NKRI bahwa wilayah tersebut merupakan milik Indonesia.
Bagaimana lapangan diplomasi nasional hari ini, di tengah berkecamuknya perang Rusia-Ukraina, dan peranan Jokowi sebagai Presidensi forum G20 yang di dalamnya duduk pula Rusia, China, dan Amerika?
Apakah Jokowi yang bekas walikota Solo memiliki kapasitas untuk menjadi mediator dan juru damai, terutama dalam konteks menjalankan salah satu amanat konstitusi yang menyatakan Indonesia ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial?
Mampukah Jokowi sebagai Presidensi G20 memanfaatkan posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar dunia, dan duduk di peringkat ke 3 sebagai negara demokrasi, dalam konflik Rusia-Ukraina ini?
Misalnya dengan mendepak Rusia dari G20? Sejalan dengan tekanan keras Presiden Amerika, Joe Biden, yang meminta supaya Rusia dikeluarkan dari G20.
Jika negara-negara G20 tidak setuju Rusia dikeluarkan, menurut Biden, maka Ukraina harus diizinkan menghadiri pertemuan G20 yang akan digelar di Bali, bulan November mendatang.
Australia sendiri baru-baru ini ikut-ikutan pula mengecam. Sekutu Amerika ini menyatakan Indonesia tidak memiliki kejelasan sikap terhadap konflik yang terjadi di Ukraina.
Pertanyaan di judul tulisan ini penting diajukan untuk menguji apakah Jokowi selama ini benar-benar merupakan antek China ataukah sebaliknya, yaitu condong kepada Amerika dan Barat. Mengingat eratnya aliansi China dengan Rusia selama ini. Serta citra rezim Jokowi yang sedemikian mesra dengan Negeri Tirai Bambu itu.
Sanggupkah Jokowi meniru kemampuan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, meski Perancis berada di posisi NATO namun mampu menjalankan dialog dengan Putin?
Ternyata sejauh ini sikap rezim hari ini terhadap konflik Rusia-Ukraina bagaikan peribahasa Belanda, als een stem in de woestijn, seperti orang yang bersuara di gurun pasir. Sehingga cuma kedengaran di kuping sendiri.
Tidak nampak kemampuan diplomasi untuk menggunakan momentum konflik internasional ini buat menaikkan posisi Indonesia di mata dunia. Sehingga yang terlihat lagi-lagi bagaikan peribahasa Belanda, ialah sikap minderwaardig complexen, karena kurang bahan untuk berpikir outwardlooking.
Dengan kata lain Jokowi tidak mampu menjalankan amanat konstitusi untuk memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Menurut tokoh nasional Dr Rizal Ramli, kalau memiliki kapasitas sebagai mediator dan juru damai Jokowi sebenarnya dapat menawarkan solusi supaya Ukraina mengambil posisi Non-Blok, sehingga Ukraina bisa menjadi titik temu antara Rusia-China beserta sekutunya dengan Amerika dan negara-negara Barat anggota NATO. Dampak dari mengambil posisi Non-Blok ini antara lain secara ekonomi Ukraina dapat diuntungkan.
Rizal Ramli sendiri menginginkan agar perang Rusia-Ukraina segera dihentikan demi alasan kemanusiaan. Karena baginya peperangan hanya menguntungkan bisnis senjata.
Bagaimana Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy?
Sebagai mantan pelawak langkah politik Zelenskyy terkesan di-drive oleh perasaannya sendiri yang ingin mendapatkan tepuk tangan dari Amerika dan Barat dalam “perlawanannya” kepada Rusia.
Amerika dan Barat akan terus mensupport-nya sebagai “boneka” untuk memperpanjang masalah dengan Rusia, antara lain dengan memberikan bantuan persenjataan.
Untuk kita di dalam negeri, terutama rakyat kecil, soal-soal Rusia dan Ukraina ini adalah soal yang masih jauh dari urusan perut. Hari-hari belakangan ini pemerintah Jokowi masih saja gagap dan asal mangap ngurusin krisis minyak goreng, dan kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya, sehingga memunculkan celaan di kalangan rakyat:
Boro-boro berani mendepak Putin dari G20, hampir delapan tahun berkuasa meningkatkan kesejahteraan rakyat sendiri tak pernah becus.
[***]