KEMARIN saya memperoleh dokumen yg membikin saya susah tidur setelahnya. Dokumen tersebut berjudul “Fenomena di kolom aor ZEE Laut Natuna Kawasan Utara”. Tidak ada identitas apapun pada dokumen itu.
Sumber saya mengatakan bahwa dokumen tersebut bersirkulasi di eselon satu Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman. Saya tidak tahu seberapa jauh pemikiran di belakang dokumen itu telah dilaksanakan.
Mudah-mudahan belum ada. Namun gagasan jahat di dalam dokumen tersebut perlu disampaikan ke publik. Saya tidak berkeberatan untuk melakukannya.
Apa masalahnya? Dari judulnya saja saya sudah bertanya-tanya. Penulis dokumen di atas menyebut kawasan Laut Natuna Utara sebagai Laut Natuna Kawasan Utara. Seperti kita ketahui penamaan Laut Natuna Utara diputuskan oleh Menko Maritim Rizal Ramli.
Nama baru tersebut memberi dampak yang sangat strategis, selain menegaskan kedaulatan negara atas wilayahnya penamaan tersebut memberi Indonesia posisi tawar terkait persaingan Cina ‘versus’ AS di kawasan itu. Sungguh hasil brilian yang muncul dari dapur pemikiran ‘out of the box’.
Atas kebijakan penamaan itu pemerintah Cina mengirim nota protes resmi. Jokowi menanggapinya dengan mengunjungi kawasan Natuna menggunakan kapal perang, simbol dari kesiapan membela kedaulatan negara. Kemenko Maritim Luhut B. Pandjaitan pada bulan Juli 2017 mendaftarkan nama baru tersebut ke Organisasi Hidrografik Internasional PBB, menunjukkan tekad pemerintah yang tegas dalam hal ini.
Masalah nama ini walau kelihatan sederhana memiliki makna mendalam, yaitu perihal kedaulatan. Maka saya terkejut atas judul di atas, apakah Menko Maritim telah berganti haluan, bersiap mundur dari komitmen sebelumnya?
Ternyata dokumen tersebut memiliki spirit yang berkebalikan. Dokumen itu menyebutkan bahwa “penamaan” tersebut cuma berupa “wacana’, bukan keputusan resmi pemerintah, padahal pemerintah telah mendaftarkan penaman baru itu ke Organisasi Hidrografik Internasional PBB pada bulan Juli 2017. Apakah langkah ini telah dibatalkan?.
Tetapi lebih jauh dari itu dokumen tersebut mengatakan bahwa “ZEE di Laut Natuna Kawasan Utara hanya klaim sepihak Indonesia saja”. Dikatakan, klaim tersebut telah ditolak oleh Malaysia dan Vietnam. Dokumen tersebut selanjutnya mengatakan bahwa total potensi perikanan di ZEE itu hanya 225 juta ton/tahun.
Penulis dokumen itu merekomendasikan supaya Indonesia mau memundurkan batas ZEE lebih ke selatan. Alasannya, demi perdamaian, persahabatan, supaya tidak ada eskalasi clash dan Indonesia mendapat 45% pun atau sekitar 100 juta ton/tahun sudah oke. ‘What?’
Untuk pengetahuan bersama ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona laut yg berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, hak-hak pemanfaatan sumberdaya kelautannya secara khusus diberikan kepada negara pantai terkait.
ZEE yang meliputi perairan di Selat Karimata dan Laut Natuna Utara telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP 711. Penetapan tersebut dilakukan sesuai hukum internasional (standar FAO). Rekomendasi agar ZEE Indonesia “ditarik mundur ke selatan” tentu akan mengubah WPP 711 itu. Yang sangat aneh adalah alasan dari rekomendasi tersebut bahwa “dapat 45% saja sudah OK”.
Saya tidak paham alasan itu, bukankah tapal batas itu merefleksikan kedaulatan negara? Apakah kedaulatan itu hanya berkenaan dengan nilai ekonomi suatu wilayah saja? Bukankah tapal batas Negara Republik Indonesia digariskan sesuai peraturan internasional, bukan karena suka-suka sendiri? Apakah suatu pemerintahan lima tahunan boleh memundurkan tapal batas negara? Darimana datang norma, “dapat 45% saja sudah OK”, memangnya kedaulatan itu proses jual-beli?”
Kita ingin hidup damai berdampingan dengan negara tetangga. Tetapi saya tidak pernah dengar ada negara melepaskan kedaulatannya untuk membeli “perdamaian”. Lucu bagi saya kalau negara sebesar Indonesia takut kalau “nanti kapal Vietnam menabrak KRI”. Kalau menabrakkan kapal bisa membikin kita memundurkan tapal batas kita, apa bukannya nanti 100 kapal akan menabrak kita?
Jadi kita bicara soal hak kedaulatan. Maknanya pertama, kita boleh dan berhak menamai suatu tempat di wilayah kedaulatan kita sesuai keinginan kita. Kedua, kita menorehkan garis tapal batas kita sesuai dengan hukum internasional. Mandat pemerintah adalah mempertahankan tapal batas itu. Bukan memperjual-belikannya.
Radhar Tribaskoro, pemerhati sosial-politik