Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Etnolog Belanda Profesor Veth pernah mencela rakyat negeri ini seperti “rakyat kambing yang semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai ke kutu-kutunya, karena bekerjanya obat tidur penjajahan.”
Profesor Pieter Johannes Veth (1814-1895) merupakan profesor geografi dan etnologi Hindia Belanda. Guru Besar Universitas Leiden, Belanda.
Ketidakadilan sudah berjalan terlalu lama. Tapi Gubernur Jenderal De Jonge di tahun 1930-an masih juga berkata, Belanda akan menjajah 300 tahun lagi.
Para pembesar kolonial waktu itu percaya kepada lemahnya mentalitas bangsa ini yang mudah dipecah-belah berdasarkan pendapat-pendapat ilmuwan mereka yang berkesimpulan kita adalah “bangsa yang paling lunak di dunia” (het zachtmoedigste volk ter aarde).
Itulah mungkin sebabnya mengapa Sukarno-Hatta harus lebih dulu ditekan dan diculik oleh kaum muda militan supaya mau menyatakan kemerdekaan, pada Agustus ‘45.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi bangsa ini yang secara fisik sudah merdeka, namun secara batin sampai hari ini mayoritas masih berkubang di dalam kesengsaraan, akibat kolonialisme baru yang diaktualisasikan kembali oleh rezim hari ini secara edan-edanan.
Sun Yat Sen pernah berkata, bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup kemana-mana.
Sejak berabad-abad lamanya bangsa ini tak henti-hentinya dijajah. Kolonialisme datang silih berganti. Portugis, Belanda, Jepang, dan Belanda lagi berupa agresi.
Bangsa ini mudah sekali melupakan peristiwa yang menyakitkan dirinya sendiri. Bahkan peristiwa yang baru terjadi beberapa tahun yang lalu.
Mengingat peristiwa yang menyakitkan bukanlah untuk menyuburkan dendam kesumat melainkan sebagai refleksi mengapa kita terus disakiti. Mengapa kita menjadi bangsa kalah yang berdiri planga-plongo di simpang jalan, menyaksikan keberhasilan bangsa-bangsa lain.
Kita tidak berani menatap peristiwa yang menyakitkan di masa lalu, karena itu kita tidak pernah berubah.
Wartawan kampiun Mochtar Lubis di tahun ‘77 pernah mencari “siapa sebenarnya manusia Indonesia”, melalui pidato kebudayaan Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban.
Ia melakukan otokritik terhadap watak lemah manusia Indonesia umumnya, yang disebutnya berciri hipokrit, ABS, penjilat, dan suka mengatakan “bukan saya” untuk melempar tanggungjawab.
Ciri ini telah menyuburkan penjajahan selama ratusan tahun dan telah menjadi watak umum elit kekuasaan seperti hari ini, yang menghambat terjadinya perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik. Ciri lainnya ialah berjiwa feodal dan percaya pada tahayul.
Otokritik ini memang mengundang banyak reaksi. Namun diakui kebenarannya, karena dimaksudkan untuk self correction dan membangun mental positif bangsa.
Antropolog Koentjaraningrat juga menyebut mentalitas manusia Indonesia umumnya suka menerabas. Yaitu nafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa proses usaha yang tekun.
Sehingga di lapangan politik hari ini banyak tumbuh pemimpin palsu. Para gadungan dan boneka, tanpa kompetensi, track record, integritas, dan kemampuan problem solver.
Akhirnya saya teringat pula kepada perkataan Bung Hatta: Bangsa besar ini, di zaman besar dan abad besar ini, hanya lahir penguasa-penguasa kerdil yang mengkerdilkan bangsa sendiri.
[***]