KEMBALI ke fitrah adalah momen untuk melakukan evaluasi dan pembenahan agar menjadi karakter yang baik dan berakhlak mulia sebagaimana asasinya.
Berpuasa adalah wahana pembinaan untuk menjaga kejujuran dan amanah. Banyak bohong bisa membatalkan.
Apalagi maksiat terus menerus yang membuat karat hati. Tak punya rasa dosa dan malu.
Pelajaran puasa dan kembali ke fitrah berlaku untuk individu, komunitas, ataupun institusi. Tak terkecuali birokrasi dan polisi.
Pasal 4 UU No 2 tahun 2012 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan empat tujuan elementer yaitu pertama, keamanan dan ketertiban. Kedua penegakkan hukum. Ketiga perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Keempat ketentraman dengan menjunjung tinggi HAM.
Dua butir awal penekanan pada jalur otoritatif dan eksekutorial. Dua akhir yakni pendekatan aspiratif, komunikatif, dan kebersamaan. Polisi di samping “alat negara” juga adalah “alat masyarakat”.
Keseimbangan membawa kenyamanan sedangkan ketimpangan membuat keresahan dan keterasingan. Bahkan kejengkelan.
Fenomena aktual yang memperlihatkan wajah polisi muram dan kurang simpatik sehingga tidak tampan atau cantik adalah urusan “mobil” yaitu:
Pertama Brigade Mobil. Kesatuan para militer ini memang bersenjata. Kasus penanganan aksi 21-22 Mei dinilai berlebihan. Korban tewas meski masih diselidiki (entah sampai kapan) kejelasannya, berhubungan dengan penanganan yang brutal Brimob.
Penyiksaan terjadi. Meski memalukan kemudiannya ketika Kapolri menjelaskan viral CCTV bahwa kejadian itu di Thailand dan Polisi Thailand membantah keras.
Manuver Kapolri banyak dikritik seperti soal senjata M4, sasaran pembunuhan jenderal, penangkapan tokoh dan aktivis, hingga soal tindakan brutal Brimob.
Kedua, mobil berplat polisi ugal ugalan. Tilang atas pengawalan “konvoi mobil” oleh mobil Fortuner berplat nomor milik Kepolisian yang disopiri WNI keturunan Cina Kevin Kosasih.
Awal keterangan pihak kepolisian adalah Nopol dan STNK Mabes Polri Kevin itu palsu. Katanya bikin di pinggir jalan dan tak terdaftar di Mabes Polri.
Belakangan keterangan Kepolisian justru Nopol dan STNK adalah asli. Lalu masyarakat dibuat bingung oleh berita inkonsisten seperti ini. Timbul kesan ada upaya melindungi dengan mengorbankan citra dan marwah Korps.
Rupanya “ada masalah” di dalam kesatuan Kepolisian yang perlu pembenahan. Jika masalah hanya kecil dan kasuistis maka bisa dengan tambal sulam.
Akan tetapi jika “terstruktur, sistematis, dan masif” maka pembenahan mesti bersifat menyeluruh. Kasus misteri “biaya jabatan”, rekening gendut, peradilan korupsi pejabat tinggi, ketidaknetralan dalam proses politik, kedekatan dengan pengusaha, sikap kritis TNI pada fasilitas Polisi, hingga kasus kasus contoh di atas soal “mobil” dapat menjadi indikator.
Saatnya citra untuk dipulihkan. Jalannya adalah pembenahan. Jangan biarkan “alat negara” dan “alat masyarakat” kita ini mengalami “decaying” karena salah manajemen.
Kepolisian adalah lembaga penting yang tak mungkin hilang. Yang mungkin adalah hilang kepercayaan. Tentu kita tak berharap seperti itu. Tak bagus jika jadi bahan olok-olok. Kita percaya akan kemampuan untuk melakukan konsolidasi personal maupun organisasi.
Membangun marwah dan wibawa. Kembali kepada fitrah, kembali kepada undang-undang, kembali kepada fungsi dan citra diri yang dicintai oleh rakyat. Sudahi penyalahgunaan atau penyimpangan. Kepolisian adalah milik kita.
Oleh M Rizal Fadillah, Pengamat Politik, Tinggal di Bandung