KedaiPena.Com – Persoalan sampah plastik masih menjadi masalah serius bagi Indonesia. Sebab, kebijakan di tingkat pusat hingga daerah belum memiliki persamaan pandangan mengenai kantong dan kemasan plastik ramah lingkungan.
Padahal, kantong dan kemasan plastik ramah lingkungan merupakan salah satu alternatif solusi pengurangan sampah plastik yang tidak dapat terurai di TPA.
Ketua Umum Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I) Nasional, Puput TD Putra mengatakan, kebijakan pengurangan penggunaan plastik yang tidak mudah terurai harus segera dilakukan oleh pemerintah, untuk mengurangi volume sampah yang masuk di TPA yang masih didominasi sampah plastik yang tidak mudah terurai.
“Sampai saat ini volume sampah di TPA masih didominasi sampah plastik, dan ini kebanyakan plastik yang butuh waktu ratusan tahun untuk terurai,” ujar Puput TD Putra dalam keterangan yang diterima redaksi, Sabtu (16/2/2020).
Perbedaan pemahaman mengenai definisi plastik ramah lingkungan, menurut Puput TD Putra harus segera disamakan, agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat maupun para pemangku kebijakan di daerah. Puput TD Putra mencontohkan adanya SNI Ecolabel yang dikeluarkan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang merupakan bagian dari menghadirkan produk kantung dan kemasan plastik yang ramah lingkungan, namun dipahami berbeda-beda di level pemerintahan di bawahnya.
“Kebijakan daerah memiliki persepsi atau definisi ramah lingkungan adalah berupa plastik yang dapat dipakai berulang kali, walaupun itu berbahan dari plastik konvensional. Maka masyarakat perlu diberi penyadaran untuk beralih menggunakan plastik ramah lingkungan, dimana semua sampah itu sesuai Undang-undang Persampahan harus berakhir di TPA dan bisa terurai secara alami di TPA,” kata Puput TD Putra.
Selain perbedaan pemahaman di level pemerintahan pusat hingga daerah, persoalan plastik ramah lingkungan juga dipengaruhi kepentingan dan keberpihakan pimpinan daerah terhadap salah satu produk yang dianggap ramah lingkungan, sehingga produk lain yang sebenarnya ramah lingkungan mendapat stempel tidak ramah lingkungan.
Puput TD Putra menyebut penggunaan plastik secara berulang itu sebagai perilaku, tampa melihat material plastik itu apakah menghadirkan solusi bagi masalah lingkungan.
“Ini juga yang harus diedukasi dan luruskan secara terbuka, dengan akal sehat atau jujur, tidak ada kepentingan atau berpihak pada salah satu produk dalam membuat suatu kebijakan,” kata Puput TD Putra.
Pelabelan plastik ramah lingkungan yang tidak sama antara satu daerah dengan yang lain, selain menimbulkan kebingunan juga tidak akan mengedukasi masyarakat mengenai mana plastik yang ramah lingkungan dengan yang tidak ramah lingkungan.
Menurut Puput TD Putra, dari sejumlah peraturan seperti di Kementerian Perindustrian, di Perpres 83/2018, serta di UU 18/ 2008 tentang Persampahan, tegas menyebutkan bahwa sampah plastik harus berakhir di TPA dan mudah terurai secara alami. Sejumah produk plastik ramah lingkungan telah mampu membuktikan bahwa plastik ramah lingkungan dapat terurai secara alami dalam waktu yang lebih cepat.
“Ada beberapa produk plastik ramah lingkungan yang itu hanya butuh sekitar 2 tahun sampai 5 tahun untuk terurai secara alami di TPA dan terdegradasi dan di makan Mikrobra, dan ini solusi atas sampah plastik kita yang butuh ratusan bahkan ribuan tahun untuk terurai,” terang Puput TD Putra.
Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I), kata Puput TD Putra, mendorong pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk menyamaan persepsi dan definisi mengenai plastik ramah lingkungan. Dengan demikian, penanganan masalah sampah plastik menjadi lebih terarah dan komprehensif.
Selain itu, masyarakat juga diajak untuk lebih peduli dan mau beralih dari plastik konvensional yang butuh ratusan tahun untuk terurai, beralih kepada plastik ramah lingkungan yang tidak butuh waktu lama terurai secara alami di alam.
“Kebijakan dan perubahan perilaku di masyarakat ini yang menjadi solusi permasalahan sampah di Indonesia,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi