Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Belanda waktu menjajah memakai science sebagai ilmu bantu kolonialisme. Yaitu Indologi dan Orientalisme dengan tokohnya Snouck Hurgronje, dan Melchior Treub, ahli botani penganjur komoditas pangan ekspor dengan laboratoriumnya yang terkenal, Kebun Raya Bogor.
Dengan ilmu, bantu Belanda membangun wilayah koloni mereka secara ilmiah. Karena ilmu pengetahuan menuntun masa depan.
Rezim hari ini tidak memakai science untuk menuntun masa depan, melainkan memakai buzzerRp untuk mengembangkan voodoo logics (logika voodoo).
Yaitu ilusi palsu, seperti tenung sihir “dukun-dukun” bejat, yang menebarkan propaganda yang menyesatkan rakyat melalui armada buzzerRp yang dipelihara dan dibiayai oleh kekuasaan.
Beragam denial (penyangkalan) sudah banyak mereka lakukan, termasuk berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang kini semakin mencekam tak terkendali. Daya rusak buzzerRp ini didukung pula oleh influencerRp yang sama-sama dibiayai oleh rezim.
“Science diabaikan. Pemerintah malah kepincut sama dukun-dukun voodoo,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli.
Ironisnya lagi, Rizal Ramli yang selama ini banyak memberikan solusi positif kepada pemerintah Jokowi, baik dalam persoalan perekonomian dan Covid-19, belakangan, malah diancam oleh jubir dongo Istana.
Rizal bersama Rocky Gerung diancam mau dipatahkan tangannya oleh sang jubir dongo yang selama ini berlagak seperti nabi dengan modal sorbannya itu.
Dalam konteks hari ini para buzzerRp sebenarnya adalah para penjahat kemanusiaan. Ada dosa mereka dan dosa para penguasa di setiap kematian para korban Covid-19, akibat penyesatan informasi, kelalaian, dan ketidakfokusan menolong rakyat.
Orang pintar dalam tatanan masyarakat feodal ialah mereka yang “ngelmu”. Menguasai mistik dan kebatinan. Sedangkan yang dimaksud ilmu pengetahuan (kawruh) bukanlah science. Inilah yang terjadi pada rezim saat ini.
Di dalam masyarakat feodal kekuasaan juga bertumpu pada kekuatan fisik yang diperankan oleh kelompok satria dan jago.
Satria berasal dari kelas penguasa yang menegakkan ketertiban. Sedangkan jago adalah para jawara dari keturunan tak begitu tinggi. Para jago ini biasanya memerankan posisi tertentu di lingkungan masyarakat dan dibayar oleh penguasa. Keduanya sangat mengedepankan citra fisik.
Pola pendekatan yang mirip tatanan feodal seperti ini nampaknya juga digunakan oleh pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 di tanah air, sehingga pakar epidemologi dari UI, Pandu Riono, mengistilahkannya sebagai Herd Stupidity (Bebal Kolektif) yang berbuah lonjakan Covid semakin drastis.
[***]