KedaiPena.Com – Jauh sebelum munculnya proyek Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa Jakarta Selatan yang ditetapkan lewat Perda No.3 Tahun 2005, sebenarnya daerah Condet Jakarta Timur pun pernah dijadikan kawasan cagar budaya melalui SK Gubernur No. D. IV-1511/e/3/74 bertanggal 30 April 1974. Saat itu gubernurnya Ali Sadikin, yang menjabat sejak 1966 hingga 1977.
Penetapan Condet sebagai kawasan cagar budaya di masa itu agar aset kultural atas praktik budidaya pertanian dan perkebunan yang ketika itu masih cukup eksis dilakukan masyarakat setempat, yang ketal budaya khas masyarakat Betawi, dapat dipertahankan dan dilestarikan.
Terlebih di tepi Sungai Ciliwung yang mengalir di wilayah Condet pun pernah ditemukan benda-benda arkeologis, seperti kapak perimbas dan aneka peralatan yang biasa digunakan manusia-manusia purba, yang diperkirakan milik masyarakat hunian yang hidup di tepian sungai Ciliwung dan diduga sebagai nenek moyang masyarakat Betawi.
Penggagas Klub Literasi Progresif (KLiP) Nanang Djamaludin menyampaikan hal itu saat berbincang dengan KedaiPena.Com usai Sosialisasi Peraturan Daerah No.4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi bersama anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Yudha Permana di Komplek Hankam Pal Merah Jakarta Barat, Kamis (8/4/2021).
Seiring waktu dan perkembangan dasyat yang terjadi di tengah masyarakat, yang berkelindan dengan perkembangan pesat Jakarta sebagai Ibu Kota, proyek kultural yang digagas Gubernur legendaris Ali Sadikin itu disebut Nanang tidak berakhir dengan menghasilkan “buah yang manis” sebagaimana manisnya Salak Condet yang tersohor itu.
“Banyak tanah pertanian dan perkebunan yang akhirnya dijual karena dirasa menjual tanah jauh lebih menguntungkan ketimbang sekedar menjual buah-buahan dan hasil pertanian. Sebagian masyarakat Condet lainnya menjual tanah untuk pergi berhaji ke tanah suci yang dalam dipandangnya jauh lebih utama,” terangnya.
Terus membludaknya para pendatang dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Ibu kota di tahun 1970an dan 1980-an, yang tentu saja kemudian membutuhkan hunian. Kemudian ditambah mulai munculnya ide pembangunan jalan tol yang tentu saja membutuhkan lahan, semakin membuat proyek cagar budaya Betawi di wilayah Condet itu mengalami pukulan berarti dan terseok-seok untuk diwujudkan.
Padahal menurut Nanang, perhatian, keseriusan dan visi konservasi dari Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin) terhadap pelestarian budaya betawi tidak bisa dibilang kecil atau biasa-biasa saja. Di masanya itu diterbitkan instruksi No. D.IV-116/d/11/1976 tentang perencanaan kota Jakarta dalam rangka untuk melindungi budaya Condet. Dan agar rumah-rumah tradisional di wilayah Condet menjadi bangunan-bangunan sejarah yang harus dipelihara dan disokong pemerintah daerah, ia pun memberlakukan Peraturan Gubernur No.1/12/1972.
“Ketidaksuksesan, jika tak ingin disebut kegagalan, dari proyek cagar budaya masyarakat Betawi di kawasan Condet di masa lampau, harus menjadi pelajaran berharga bagi segala upaya bersama dari proyek kultural yang mengatasnamakan pelestariaan kebudayaan Betawi. Tak terkecuali bagi keberadaan proyek Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa Jakarta Selatan,” tutur Nanang.
Sehingga Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Kebudayaan dan UPK Setu Babakan, serta segenap pemangku kepentingan kebudayaan Betawi wajib menghindari keliru langkah dalam menyusun, menyokong dan melaksanakan proyek dan program-program kebudayaan yang benar-benar sejati dari masyarakat di bawah, lewat metode pelibatan partisipasi masyarakat setempat seluas-luasnya.
Gubernur Anies, menurutnya, harus memastikan kembali agar pendekatan dan strategi yang diterapkan jajarannya terkait PBB Setu Babakan benar-benar bottom-up, secara kultural dan alamiah, terkait aspirasi dan keterlibatan masyarakat lokal setempat seluas-luasnya. Bukan top-down. Bukan pula seolah-olah bottom-up padahal top-down, yang justru bisa membuka lebar-lebar kepentingan sekunder maupun tersier, yang nota bene cuma sisipan menjadi jauh lebih menonjol ketimbang kepentingan pelestarian kebudayaan Betawi dengan segenap unsur-unsurnya yang paling substansial.
“Misalkan, jangan sampai proyek PBB Setu Babakan sekedar menjadi akuarium kebudayaan semata, seperti layaknya ikan cupang di dalam toples tanpa ekosistim hidup yang ditonton anak-anak. Jangan sampai dalam perkembangannya justru aspek wisatanya yang melesat jauh lebih menonjol dan paling terdepan ketimbang unsur-unsur substansial dari kebudayaan Betawi itu sendiri. Jangan sampai pula unsur-unsur substansial Budaya Betawi dan adat istiadat Betawi justru tidak terasa dan tidak benar-benar hidup dalam atmosfir kehidupan sehari-hari masyarakat setempat,” ingatnya.
Dalam pandangan Nanang, segenap proses dan tujuan sejati dari kerja-kerja kultural yang dicurahkan para pemangku kepentingan yang terlibat di dalam Proyek PBB Setu Babakan seharusnya adalah dalam rangka memastikan terus hidupnya dan kian bugarnya ruh dari segenap unsur paling substansial dari kebudayaan Betawi dalam praktik nyata kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Laporan: Muhammad Hafidh