KedaiPena.com – Kondisi Pelabuhan Patimban sampai dengan saat ini, masih belum mampu mendorong tercapainya penurunan biaya logistik untuk Indonesia atau khususnya wilayah sekitar pelabuhan tersebut.
Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono, menilai pernyataan Pemerintah, yang menyatakan bahwa Pelabuhan Patimban akan menjadi bagian penting dari upaya penurunan biaya logistik, sampai dengan saat ini hasil nya masih belum terlihat.
“Patimban itu, lokasinya kurang layak untuk dijadikan pelabuhan laut. Karena Pelabuhan Patimban itu berada di wilayah muara Sungai Cipunagara, yaitu salah satu sungai besar di wilayah Jawa Barat. Kenapa? Dengan panjang 147 kilometer dan melewati beberapa kota, dipastikan endapan yang masuk ke perairan Patimban akan banyak. Bisa berupa lumpur atau sampah. Dan ini jumlahnya besar. Apalagi masih ada beberapa muara sungai kecil yang juga membawa dampak endapan pendangkalan. Sehingga akan cepat terjadi sedimentasi di perairan pelabuhan tersebut,” kata Bambang Haryo, Rabu (9/10/2024).
Kecepatan proses sedimentasi ini, lanjutnya, sangat berpengaruh pada kinerja pelabuhan, karena target Pelabuhan Patimban adalah pelabuhan internasional yang mampu menampung 7 juta teus per tahun. Artinya, apabila dihitung harian, akan ada 21 kapal dengan kapasitas 1.000 teus atau kapasitas pelabuhannya adalah 21 ribu teus per hari.
“Sedangkan kapal kapasitas 1.000 teus itu, butuh kedalaman di atas 10 meter. Sementara, dengan laju endapan yang terjadi saat ini, menyebabkan kedalaman perairan di sekitar dermaga tinggal 7 meter saja. Untuk itu, perlu pengerukan, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi pengelola pelabuhan. Ini biasanya akan dibebankan kepada konsumen pelayaran,” ujarnya.
Dan, dengan target 21 ribu teus per hari, panjang dermaga yang dibutuhkan adalah sekitar 4 kilometer, karena panjang kapal 1.000 teus adalah sekitar 200 meter per kapal. Sedangkan panjang dermaga Pelabuhan Patimban itu tidak lebih dari 800 meter.
“Pertanyaannya, bagaimana bisa menampung 21 ribu teus per hari, untuk target 7 juta teus per tahunnya,” tanya Bambang Haryo.
Alasan kedua, lanjutnya, adalah Pelabuhan Patimban ini memiliki jarak cukup jauh dari pusat industri yang ada di Karawang, Bekasi, dan Tangerang. Yaitu sekitar 124 kilometer untuk Bekasi dan Karawang dan 171 kilometer untuk Tangerang.
“Sehingga jarak tempuh dengan mobil biasa itu sekitar 3-4 jam dan jika menggunakan truk itu bisa lebih lama yaitu 3 jam, sehingga ongkos logistik akan lebih mahal,” kata Bambang Haryo lebih lanjut.
Seperti diketahui, saat ini hampir 100 persen logistik hasil industri yang ada di Karawang, Bekasi dan Tangerang, tetap memilih melalui Pelabuhan Tanjung Priuk. Kecuali hasil produksi mobil, hanya sebagian kecil yang melalui Pelabuhan Patimban.
“Logistik untuk kontainer masih belum ada sama sekali yang berlabuh di Patimban. Bahkan sampai saat ini, jumlah kapal yang hadir di pelabuhan tersebut hanya 30 kapal setiap bulannya. Dimana 70 persennya adalah kapal proyek pembangunan Pelabuhan Patimban. Jadi, bisa dikatakan produktivitas Pelabuhan Patimban hampir mendekati 0 persen,” ungkapnya.
Atas dasar itu, Bambang Haryo menegaskan bahwa Pelabuhan Patimban belum lah bisa dikatakan sebagai pelabuhan Hub untuk menggantikan Pelabuhan Tanjung Priuk. Dimana, sebagai perbandingannya, Pelabuhan Tanjung Priuk mempunyai kapasitas 10-12 jt teus per tahun, dengan realisasi 6.4 juta teus.
“Pelabuhan Tanjung Priok itu memiliki angka pertumbuhan sekitar 5 persen per tahunnya. Yang artinya, Pelabuhan Tanjung Priuk masih mempunyai kemampuan menampung kontainer sampai dengan 20 tahun kedepan,” ungkapnya lagi.
Sedangkan Pelabuhan Patimban yang sudah diresmikan Presiden Jokowi pada 20 Desember 2020, sampai saat ini masih belum mencatatkan satu kapal kontainer pun yang melakukan bongkar muat di Pelabuhan Patimban tersebut. Padahal target penyelesaian pelabuhan tersebut secara total adalah sampai tahun 2025, dengan target produktivitas kontainer sebesar 7.5 juta teus.
“Ini perlu adanya kajian yang melibatkan pelaku usaha di pelayaran, dan pelaku usaha industri. Apakah mereka berminat untuk memanfaatkan Pelabuhan Patimban secara maksimal, bila dibandingkan dengan memanfaatkan Pelabuhan Tanjung Priuk,” kata Anggota Dewan Terpilih 2024-2029 ini.
Ia menyatakan, pada tahun 2015 lalu, ia lebih setuju jika pemerintah tetap membangun pelabuhan di Wilayah Cilamaya. Dimana, saat itu pembangunannya dibatalkan karena ada Pipa Migas milik Pertamina di Wilayah Perairan tersebut.
“Seharusnya arus transportasi laut tidak boleh terhambat pipa migas. Sesuai dengan aturan internasional dari Aturan Biro Laut Energi dan Management dan di adopsi dalam Undang Undang Pelayaran no. 17 Tahun 2008, pipa migas wajib ditanam 5 meter di bawah Sea Bed (Dasar Laut yang Paling Keras). Sehingga tidak boleh mengganggu dan terganggu transportasi laut,” ujarnya.
Secara jarak pun, lanjutnya, Cilamaya lebih dekat dan lebih terintegrasi dengan kawasan industri yang ada di Karawang dan Bekasi, dibandingkan Patimban. Sehingga ongkos logistik di Pelabuhan Cilamaya menjadi jauh lebih murah daripada ongkos logistik bila menuju ke Pelabuhan Patimban.
“Harapan saya, di masa depan, jika Pemerintah ingin membangun pelabuhan, harus mempertimbangkan jarak dari wilayah industri, perdagangan, dan pusat keramaian kota. Jangan membangun tanpa memperhitungkan aspek ekonomisnya,” pungkas Bambang Haryo.
Laporan: Ranny Supusepa