MENARIK, saya kira, setelah melihat Presiden Jokowi mengajak pemimpin IMF, Christin Lagarde, dan Sri Mulyani jalan-jalan ke Pasar Tanah Abang dan Rumah Sakit kemarin (26/2). Di pasar Tanah Abang, Jokowi hendak menunjukkan pasar yang mayoritas penghuninya (pemilik lapak) adalah usaha kecil dan menengah. Di rumah sakit, Jokowi hendak menunjukkan pelayanan jaminan sosial negara.
Kita tahu, bahwa IMF sebagai sebuah institusi internasional memiliki kecenderungan ideologi tidak berpihak terhadap segala yang berbau jaminan sosial dan usaha kecil. Lembaga yang lebih berpihak pada kepentingan bank-bank besar, taipan-taipan dunia, dan para kreditor lainnya. Jadi semisal Christin Lagarde mengatakan bahwa perekonomian Indonesia berjalan pada “jalur yang benarâ€, mungkin maksudnya karena Indonesia selalu patuh melunasi utang dan bunga terhadap kreditor.
Perjalanan IMF di Indonesia sangat dibilang penuh dengan kenangan, bila tidak mau dibilang sebagai kemalangan. Kejadiannya kira-kira 21 tahun lalu, di tahun 1997. Pada saat itu sebagian negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, mengalami krisis karena kondisi makroekonomi yang rentan – negara-negara yang rezim mata uang dipatok, defisit transaksi berjalan yang amat besar,dan utang swasta yang “besar pasak daripada tiang†(over leveraged)- dihajar spekulan. Dimulai dari Thailand, Korea Selatan, Malaysia, kemudian Indonesia, semua mengalami krisis keuangan.
Perbedaannya Negara-negara yang terkena krisis mata uang, memilih jalan yang berbeda-beda dalam penanangannya. Korea Selatan memilih jalan untuk melakukan restrukturisasi utang seluruh korporat bermasalah mereka, perekonomian negara Ginseng ini pun selamat dengan elegan. Malaysia memilih jalan membatasi lalu lintas kapital keluar dari Negaranya, mereka dicaci maki oleh pemain pasar uang dan lembaga Dunia, namun perekonomian Negeri Jiran tersebut selamat. Berbeda dari kedua negara yang memilih jalan sendiri, Indonesia memilih jalan menjadi “pasien†IMF sejak Oktober 1997.
Resep-resep IMF bukannya menyembuhkan, malah menjerumuskan ekonomi Indonesia ke kehancuran. IMF meminta tingkat suku bunga SBI dinaikkan dari 16% ke 80%. Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya krisis likuiditas (liquidity crunch) dalam sistem perbankan nasional. Kemudian langkah ini juga ini memicu terjadinya capital outflow, sebesar US$ 5 miliar- yang semakin menghancurkan nilai kurs rupiah (yang sudah terlanjur diambangkan saat itu). Terjadi akhir `1997.
IMF juga meminta pemerintah Indonesia menutup 16 bank, tanpa persiapan yang memadai. Akibatnya malah menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan (padahal modal utama bisnis ini adalah kepercayaan) sehingga mendorong kehancuran sebagian besar perbankan di Indonesia.
IMF juga meminta Pemerintah Indonesia mengambil alih sebagian besar utang swasta dengan metode BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Mengubah utang swasta menjadi utang masyarakat, publik. Awalnya, pada 1997 utang swasta sebesar US$82 miliar, dan utang pemerintah terhadap publik domestik belum ada. Tetapi setelah ditandatangi BLBI pada zaman pemerintah Habibie, utang pemerintah terhadap publik (swasta) melonjak sebesar Rp 647 triliun (atau US$ 65 miliar kurs saat itu).
Terjadilah kemudian serangkaian kebijakan fiscal austerity yang juga diminta IMF. Akhirnya krisis mata uang meningkat menjadi krisis ekonomi dan krisis politik. IMF sempat melakukan apa yang disebut “IMF Provoked Riotsâ€, dengan mencabut subsidi BBM sangat tinggi hingga mengakibatkan kerusuhan di banyak kota besar Indonesia (Makassar, Solo, Medan, Jakarta) pada Mei 1998. Yang mengakibatkan juga kejatuhan Suharto, penguasa terlama Indonesia setelah 32 tahun kuasa.
Sial bagi Indonesia.
Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi krisis paling buruk dalam sejarah ekonomi Indonesia. Perekonomian Indonesia tahun 1998 terkoreksi sangat dalam (kontraksi) hingga ke level -13% (terburuk di antara negara-negara yang terkena imbas krisis mata uang). Ketimpangan sosial terburuk selama Orde Baru, rasio Gini sebesar 0,37, juga terjadi di tahun 1998 ini. IMF juga meninggalkan Indonesia suatu bentuk “bom waktu†kewajiban utang BLBI yang harus terus dibayar hingga 2030.
BLBI ternyata juga mengungkap sekian banyak persoalan hukum yang menyeret banyak pejabat ke penjara (Boediono dan Sri Mulyani belum diperiksa padahal diduga melakukan pelanggaran dengan menjual murah aset salah satu obligor BLBI).
Beberapa saat menjelang terjadinya krisis 1997-1998, tidak banyak ekonom yang sadar akan kelemahan internal tersebut, dan berani bicara untuk mengingatkan pemerintah. Para ekonom Orde Baru, termasuk Sri Mulyani muda dan para gurunya yang menjadi kepala-kepala teknokrat pemerintahan Suharto selama 32 tahun, tidak ada satupun yang mengingatkan. Semuanya memuja-muji kondisi ekonomi Indonesia, para pejabat Kemenkeu, Bank Indonesia, IMF, dan Bank Dunia. Begitu krisis datang, mereka semua terhenyak. Dan segera ramai-ramai menjadi sales jasa promotion untuk jasa keuangan IMF.
Setelah itu IMF dibawa masuk oleh para guru Sri Mulyani muda masuk ke Indonesia, disetujui oleh Suharto. Pada era pemerintahan Gus Dur, menteri ekonomi saat itu, Rizal Ramli, berhasil memaksa IMF untuk menggunakan poin-poin LoI versi Indonesia- merevisi sama sekali poin-poin versi IMF. Banyak kebijakan LoI yang tidak masuk akal, seperti izin untuk membangun pasar modern asing di tengah perkotaan (bukan di luar kota seperti atuiran yang umum di Dunia) berhasil direvisi oleh tim ekonomi Gus Dur.
Sayang ketika pemerintahan berganti, era Megawati, poin-poin LoI yang telah direvisi malah dikembalikan oleh tim ekonomi Boediono dan juniornya, Sri Mulyani. Tapi memang kita harus berterima kasih juga kepada pemerintahan SBY di awal, yang berani untuk membayar lunas semua utang IMF dan menghentikan intervensi dari IMF. Meskipun LoI-LoI-nya telah terlanjur berjalan tanpa direvisi, yang dampaknya kita semua masih rasakan sekarang.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)