MANTAN Menteri Keuangan Chatib Basri membuat tulisan di BBC Indonesia yang berjudul Menteri Terbaik di Dunia: Mengapa Sri Mulyani Layak Mendapatkan Predikat Itu?
Sebuah tulisan yang intinya hendak membela Sri Mulyani atas penghargaan Best Minister yang diberikan World Government Summit minggu lalu.
Memang sebuah tulisan yang bagus cara penulisannya, tapi tulisan ini terlalu anekdotal, kurang didukung oleh analisis yang ilmiah dan data-data statistik.
Saat mulai membaca tulisan Chatib Basri, saya sempat menunggu akan datang pembelaan atas data- data tidak kredibel dari Ernst & Young sebagai dasar pemberian gelar untuk Sri Mulyani.
Tapi saya kecewa. Tidak ada pembelaan atas kesalahan data kemiskinan dan utang -yang sudah terlanjur dilaunching juga oleh Kemenkeu.
Tidak ada juga pembelaan atas kurang objektifnya data ketimpangan pendapatan, transparansi, dan cadangan devisa (tentang analisa lebih rinci atas EY dan datanya yang tidak kredibel dapat dibaca dalam tulisan saya sebelum ini berjudul Ernst & Young dan Penghargaannya untuk Sri Mulyani).
Artinya Chatib telah lari dari isu yang konten, data dasar pemberian penghargaan Sri Mulyani.
Pembelaan Chatib atas Sri Mulyani kemudian lebih diarahkan terhadap kebijakan pengetatan anggaran atau austerity policy yang dilakukan Sri Mulyani.
Chatib sendiri menghindari istilah austerity dalam tulisannya. Ia lebih memilih istilah “kebijakan fiskal yang kredibel†untuk membenarkan aksi Sri Mulyani memotong anggaran Rp 140 triliun.
Sederhana, cara untuk melihat apakah benar ini merupakan pengetatan anggatan atau kebijakan fiskal yang kredibel, yang menurut Chatib akan “memberikan fondasi yang kokoh bagi struktur ekonomi Indonesiaâ€. Kita akan lihat data statistik.
CNN Indonesia beberapa waktu lalu meluncurkan infografis yang berjudul Kinerja Ekonomi di Tangan Sri Mulyani. Isinya adalah tentang data-data statistik hasil kinerja selama Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan Jokowi.
Beberapa data statistik yang penting akan saya ulas sebagai pembanding klaim (minus data) Chatib dalam tulisannya.
Disebutkan bahwa konsumsi masyarakat pada tahun 2017 turun ke 5,01% dari sebelumnya 5,91% di tahun 2016. Konsumsi masyarakat yang menurun adalah indikator utama bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan Sri Mulyani telah mencekik masyarakat.
Terserah mau diistilahkan sebagai kredibel atau apapun, yang pasti kebijakan ini merugikan perekonomian masyarakat. Saya bertanya pada Chatib: struktur ekonomi yang kokoh macam apa yang mau dituju dengan merugikan perekonomian rakyat?
Disebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi 2017 jauh di bawah target, hanya 5,07%. Bila dibandingkan dari target 5,4% di awal tahun 2017, dan 5,2% di pertengahan tahun, jelas realisasi yang dicapai Sri Mulyani jauh di bawah.
Di kala perekonomian negara-negara tetangga di ASEAN melaju kencang memanfaatkan momentum membaiknya perekonomian Dunia, perekonomian Indonesia malah stagnan.
Apakah memang “struktur ekonomi yang kokoh†yang diinginkan Chatib bertujuan menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan?
Ketimpangan pendapatan, yang digambarkan oleh rasio Gini, juga tidak membaik. Tidak turun secara signifikan, tetap stagnan di atas 0,39.
Padahal kita tahu Pemerintah Jokowi telah berupaya keras
mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat dengan pembagian kartu jaminan sosial, sertifikat tanah, dan (kini) program padat karya cash.
Austerity jelas telah menghambat penurunan ketimpang pendapatan. Indeks Gini sebesar 0,391 di bawah Sri Mulyani masih sangat jauh dari indeks Gini 0,31 yang pernah dicapai Indonesia di era Gus Dur atau indeks Gini negara-negara Kesejahteraan di Eropa yang berada di bawah 0,29.
Saya sangat menyayangkan bila “struktur ekonomi yang kokoh†yang diinginkan Chatib Basri ternyata mempertahankan ketimpangan pendapatan.
Austerity policy adalah rumus ekonomi yang telah gagal mengangkat suatu negara dari krisis saat diterapkan di Amerika Latin dan juga di Yunani.
Rumus ini akan mengakibatkan perlambatan ekonomi dan memburuknya ketimpangan pendapatan.
Sebaliknya, austerity policy di mana-mana hanya menguntungkan para kreditor. Karena saat seluruh pos anggaran dipotong, anggaran untuk membayar utang dan cicilan kreditor selalu aman.
Ketika ekonomi lambat akibat austerity policy, maka harga aset jatuh dan jatuhnya harga aset kembali menguntungkan para pemain pasar uang (yang juga adalah kreditor).
Sudah cukup merugikan rakyat. Saatnya Indonesia menggunakan growth story, cara-cara yang inovatif dan kreatif di luar austerity policy.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)