PERTANYAAN yang menggantung di atmosfir Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hari-hari ini adalah, mengapa Presiden Jokowi melindungi Ahok? Inilah pertanyaan yang jadi obrolan di diskusi-diskusi kalangan aktivis dan wartawan, warga kelas menengah di café-café, dan di warung-warung kopi oleh masyarakat kelas bawah. Inilah pertanyaan yang terus dicari jawabnya lewat media-media online yang bukan mainstream, di media sosial, grup-grup whats app, dan lainnya.
Rakyat negeri ini benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran Jokowi. Bagaimana mungkin seorang Presiden sebuah negeri besar yang berdaulat bersedia dan terus tersandera oleh seorang penista agama bernama Ahok? Bagaimana mungkin seorang yang dicitrakan sangat merakyat dan pekerja keras bisa terkungkung oleh gubernur bengis yang hobi menggusur rakyatnya sendiri? Bagaimana mungkin Presiden yang awalnya diharapkan akan bekerja sungguh-sungguh menyejahterakan seluruh rakyatnya, jadi terkulai tidak berdaya di bawah bayang-bayang seorang pejabat publik yang berhamba kepada para taipan yang menjadi bohirnya?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung mendapat jawaban memuaskan. Memang, sejumlah asumsi dan hipotesa berseliweran untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Satu di antaranya adalah, karena Jokowi berutang budi kepada para pengembang yang membiayai kampanye saat dia maju jadi Capres. Karena para taipan itulah yang kini berada di belakang Ahok, si minoritas yang menjadi tirani atas mayoritas.
Tapi namanya juga asumsi dan hipotesa, kebenarannya harus diuji lagi. Artinya, asumsi dan hipotesa jawaban-jawaban tersebut bisa benar, bisa juga keliru. Meski demikian, publik kadung yakin (?) bahwa hipotesa dan asumsi tadi benar adanya. Terlebih lagi, mulut jamban Ahok sendiri yang mengkonfirmasi, bahwa Jokowi tidak akan menjadi Presiden tanpa bantuan dari para pengembang.
Pernyataan ‘panas’ ini disampaikan Gubernur DKI Jakarta yang indeks prestasi di bawah banderol tersebut secara terbuka di depan publik. Banyak media yang meliputi saat dia menyemburkannya. Pangkal soalnya adalah ketika dia berseteru dengan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli ihwal reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dan, rakyat pun akhirnya harus menelan kenyataan pahit. Jokowi lebih memilih Ahok, sosok korup yang mati-matian dipoles media sebagai pejabat yang bersih. Rizal Ramli harus terpental dari posisinya karena perseteruan ini.
Pernyataan Ahok bahwa Jokowi mustahil jadi Presiden tanpa bantuan pengembang memang luar biasa. Betapa tidak, sampai detik ini tidak ada sepotong pun bantahan dari Istana. Walau, tentu saja, tidak ada secuil pun pengakuan Jokowi atas kebenaran yang dilantangkan Ahok. Apakah artinya ini? Jangan-jangan, kali ini mulut Ahok yang liar itu benar adanya?
Ada benang merah?
Misteri hubungan Ahok-Jokowi-pengembang sepertinya bakal tidak lagi jadi misteri. Terlampau banyak tanda-tanda yang menunjukkan ketiganya berada dalam satu garis. Memang, garisnya tidak lurus benar. Garis itu berliku, meliuk-liuk, berputar-putar. Namun tidak terlalu sulit melihat ada benang merah yang menghubungkan ketiganya.
Berbekal pernyataan Ahok tersebut, menjadi masuk akal bila Jokowi mati-matian membela dan melindungi gubernur yang tidak segan-segan memaki seorang ibu dengan sebutan maling di depan publik. Tragisnya, makian itu dilontarkan sang gubernur hanya karena yang bersangkutan bertanya soal Kartu Jakarta Pintar (KJP) anaknya. Tanda lain yang paling benderang, ya itu tadi, terdongkelnya Rizal Ramli dari lingkaran kabinet.
Kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu, September tahun silam, juga menjadi indikator betapa Jokowi membela habis-habisan politisi yang tak segan-segan mengkhianati pendukungnya. Sungguh sangat sulit diterima akal sehat, Jokowi bisa mengabaikan tiga kali aksi yang melibatkan jutaan massa. Padahal, tuntutan massa sangat sederhana, penjarakan Ahok sang penista agama. Toh, begitu banyak yurisprudensi penista agama langsung ditangkap dan dibui, baik di masa Orla, Orba, maupun reformasi; bahkan sejak zaman Belanda menjajah negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Sebagai bagian dari anak bangsa, saya ingin memberi masukan kepada Jokowi. Bahwa, terlalu mahal harga yang harus dibayar jika dia terus-menerus membela gubernur yang telah mengoyak ketunggalikaan. Membiarkan kasus Ahok belarut-larut sama saja membiarkan masalah dengan eskalasi yang kian liar. Tiga kali aksi massa dengan jumlah super fantastis dan terus membengkak, adalah sinyal yang teramat terang, betapa kasus ini sama sekali tidak bisa disikapi dengan sambil lalu.
Jika pengadilan memutus Ahok bebas, protes ummat Islam dipastikan bakal mencuat lagi. Pada tahap ini, jangan berharap mereka akan menggelar aksi damai dan superdamai seperti yang sudah-sudah. Bukankah sebelumnya beredar tamsil, bahwa aksi 4 November (411) adalah thawaf alias keliling Ka’bah. Sedangkan aksi 2 Desember (212) adalah wukuf (duduk berdiam diri di padang Arofah). Kalau sampai terjadi aksi berikutnya, maka itu adalah lempar jumroh. Buat yang belum mafhum rukun haji, lempar jumroh adalah aksi melempar sejumlah kerikil yang disimbolkan melempar setan. Dalam konteks kasus Ahok, anda tentu paham yang dimaksud dengan lempar jumroh, bukan?
Sekadar mengingatkan kembali, aksi 411 diklaim diikuti 2,3 juta massa. Sementara aksi 212 jumlahnya membengkak menjadi lebih dari 7 juta ummat. Anda bisa bayangkan, apa yang terjadi jika jutaan massa secara berbarengan ‘melempar jumroh’? Dan, aksi melempar jumroh itu tidak hanya di Jakarta, tapi juga terjadi di banyak kota di Indonesia. Bukan mustahil, maaf, Jokowi benar-benar terjungkal dari singgasananya.
Itu baru risiko politik. Jika kerusuhan meluas ke seantero negeri, dampak buruk lain yang tidak kalah mengerikannya adalah terganggungnya perekonomian nsional. Pertumbuhan pas-pasan yang kini 5%, akan terjungkal menjadi minus 8-10%. Ini artinya Indonesia akan terlempar ke belakang seperti 18 tahun silam, saat reformasi menjelang terjadi.
Krisis moneter 1998 mungkin tidak ‘ada apa-apanya’ dibandingkan bila kita kembali mengalami kerusuhan massal. Pasalnya, saat krisis 1998, harga berbagai komoditas pertanian dan pertambangan sedang bagus. Krisis yang membelit Jakarta khususnya, dan Jawa pada umumnya, relatif tidak dirasakan rakyat yang tinggal di Sulawesi, misalnya. Itulah sebabnya, waktu itu ekonomi Indonesia tidak benar-benar lumpuh total.
Bandingkan dengan saat ini. Harga komoditas masih terkulai. Sedikit kenaikan yag terjadi sama sekali tidak sebanding dengan penurunan dahsyat sepanjang lima tahun terakhir.
Ditambah dengan himpitan ekonomi yang dirasakan mayoritas rakyat Indonesia, kasus Ahok adalah kombinasi yang pas bagi lahirnya aksi-aksi yang berujung pada revolusi. Artinya, terlalu mahal harga yang harus dibayar seluruh negeri ini, jika Jokowi terus saja melindungi Ahok.
Pertanyaannya, dengan risiko sedahsyat ini akankah Jokowi tetap akan membela dan melindungi Ahok? Jadi, apa sebenarnya yang menyebabkan Presiden membela mati-matian Ahok? Akankah Jokowi bermaksud menulis sendiri sejarahnya? Sejarah yang tragis dan ironis.
Oleh Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta