SEBELUM membaca akan ke mana arah perekonomian Indonesia pasca Pilpres, sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap perekonomian yang telah berjalan. Evaluasi Ekonomi 4 Tahun Pemerintah Jokowi saya bagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah Apresiasi dengan Catatan, yaitu untuk: Infrastruktur, Lapangan Kerja, Kemiskinan, dan Ketimpangan. Dan bagian kedua adalah Kritik, yaitu untuk: Pertumbuhan Ekonomi, Deindustrialisasi, Kinerja BUMN, Indikator Eksternal Makroekonomi, Utang, dan Tax Ratio.
Apresiasi dengan Catatan
Infrastruktur adalah terobosan utama Jokowi yang harus diapresiasi karena masif dan meluasnya hingga luar Jawa, meskipun dampaknya terhadap perekonomian jangka pendek terbatas. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur semacam jalan toll tidak disertai dengan pembangunan jalan penyuplai (feeder) yang layak.
Selain itu, karena mahalnya tarif yang dikenakan, akhirnya ruas toll trans Jawa hanya ramai pada masa liburan (Lebaran, Natal, dan lain-lain), sementara pada hari biasa cenderung sepi karena truk-truk lebih memilih melewati jalur Pantura. Sebagian besar waduk yang baru dibangun tidak diikuti oleh pembangunan irigasi sekunder dan tersier serta pencetakan sawah.
Lapangan Kerja di era Jokowi memang terus meningkat. Perlu diapresiasi bahwa selama 4 tahun (Agustus 2014-Agustus 2018), terjadi pertambahan penduduk bekerja sebanyak 9,4 juta jiwa. Sepertinya ini adalah salah satu janji Jokowi yang dapat terpenuhi hingga di akhir masa jabatan (Jokowi janjikan penciptaan 10 juta lapangan kerja dalam 5 tahun).
Hanya perlu dicatat, selama 4 tahun ini juga terjadi pertambahan pekerja informal sebanyak 2,4 juta jiwa, atau sekitar 1/4 dari lapangan kerja yang diciptakan. Porsi pekerja informal di Agustus 2018 masih cukup tinggi, mencapai 56,8% dari keseluruhan penduduk bekerja, atau hanya turun 2,6% dalam 4 tahun terakhir
Tabel 1
Kemiskinan di era Jokowi memang terus turun. Tentang pernyataan bahwa baru pertama kali dalam sejarah, persentase penduduk miskin berada di level 1 dijit (< 10%), itu kebetulan saja. Karena sejak sebulan sebelum Jokowi menjabat, pada September 2014, persentase kemiskinan sudah di level 10,9%, dan Jokowi selama 4 tahun ini berhasil turunkan persentase sebanyak 1,3%.
Tapi yang perlu diketahui adalah di seluruh pemerintahan sebelum Jokowi, kemiskinan juga terus turun. Yang berbeda adalah laju penurunan kemiskinan. Pada era Jokowi ini laju penurunan kemiskinan paling lambat, angka kemiskinan hanya berkurang 520 ribu jiwa per tahun.
Bandingkan dengan laju penurunan kemiskinan era SBY yang sebesar 840 ribu jiwa per tahun (turun 5,4% dalam 10 tahun), era Megawati sebesar 570 ribu jiwa per tahun (turun 1,75% dalam 3 tahun), era Habibie sebesar 1,53 juta jiwa per tahun (turun 0,77% setahun). Laju penurunan kemiskinan tercepat adalah pada era Gus Dur, sebesar 5,05 juta jiwa per tahun (turun 5,02% dalam 2 tahun).
Ketimpangan di era Jokowi, yang diwakili oleh Gini ratio, memang menunjukkan perbaikan. Tetapi penurunan Gini Ratio di era Jokowi sangat lambat, sejak September 2014 hingga September 2018 Gini Ratio hanya turun dari 0,41 ke 0,384. Padahal pada akhir era Gus Dur (2001), Gini Ratio kita pernah mencapai level 0,31, turun dari 0,37 di tahun 1999.
Grafik 1
Sementara, bila ketimpangan diukur berdasarkan distribusi pengeluaran (GNI) bagi 20% masyarakat terkaya, 40% masyarakat menengah, dan 40% masyarakat termiskin, capaian di era Jokowi belum memuaskan. Pada Maret 2018, 20% masyarakat terkaya berkontribusi terhadap 46,1% pengeluaran, 40% masyarakat menengah menguasai 36,6% pengeluaran, dan 40% masyarakat termiskin hanya menguasai 17,1% pengeluaran.
Bandingkan dengan era Gus Dur, saat itu 20% masyarakat terkaya hanya berkontribusi 40,5% pengeluaran, masyarakat menengah menguasai 37,7% pengeluaran, dan 20% masyarakat termiskin menguasai sampai 21,7% pengeluaran.
Grafik 2
Kritik
Pertumbuhan Ekonomi stagnan di kisaran 5%. Pertumbuhan kita tahun 2018, sebesar 5,17% menempati peringkat No .35 di Dunia. Tidak pada tempatnya bila membandingkan pertumbuhan ekonomi kita dengan negara-negara maju di G-20, karena pendapatan perkapita warga negara-negara maju yang sudah tinggi dan tiadanya original demand di kalangan warganya.
Sedangkan untuk negara berkembang seperti Indonesia, yang pendapatan perkapita masih menengah rendah, original demand masih ada sehingga masih sangat memiliki ruang untuk tumbuh lebih tinggi. Dari 34 negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi melebihi Indonesia
Tabel 3
Hampir seluruhnya merupakan negara berkembang (kecuali Malta dan Macao) dengan pendapatan perkapita menegah ke bawah.
Padahal target Jokowi seperti disampaikan di RPJMN 2015-2019 (hal 2-8) disebutkan: “untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030, perekonomian nasional dituntut tumbuh rata-rata 6-8% pertahun.”
Deindustrialisasi
Kontribusi sektor manufaktur (non-migas) terhadap PDB selama 4 tahun era Jokowi hanya rata-rata sebesar 18,4% pertahun, merupakan yang terendah dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Bandingkan dengan besaran kontribusi manufaktur terhadap PDB era pemerintahan SBY yang masih rata-rata sebesar 21,4% pertahun. Atau bandingkan dengan pemerintahan Megawati yang besarannya lebih tinggi lagi sebesar rata-rata 24,4% pertahun dan pemerintahan Gus Dur sebesar rata-rata 24,5% pertahun.
Kinerja BUMN
Sesuai diamanatkan UU BUMN, tugas BUMN adalah mengejar keuntungan. Sayangnya pada era Jokowi indikator-indikator kinerja yang mengukur tingkat keuntungan BUMN, yaitu Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE) terus alami penurunan.
Pada akhir tahun 2014, ROA BUMN masih pada 3,4% dan ROE BUMN pada 14,3%. Kini setelah 4 tahun berjalan, ROA BUMN telah turun hingga kisaran 2,1% dan ROE BUMN juga turun di kisaran 6,8% (separuh besaran tahun 2014).
Selain itu indikator lainnya, rasio Total Asset Turnover (TAT) yang menggambarkan tingkat kemampuan aset menghasilkan penjualan juga mengalami penurunan. BIla pada 2014 rasio TAT BUMN masih di kisaran 43,5%, kini di tahun 2018 rasio TAT BUMN anjlok ke 28%.
Mayoritas indikator eksternal makroekonomi berada pada posisi negatif. Selain dari indikator pendapatan sekunder, seluruh indikator: transaksi berjalan, neraca perdagangan, pendapatan primer, neraca barang, neraca jasa, keseimbangan primer; pada kuartal III-2018 berada pada posisi negatif.
Tabel 4
Defisit transaksi berjalan Indonesia malah menjadi yang terburuk di kawasan Asia Tenggara.
Grafik 4
Ini menjadikan Indonesia menjadi negara yang paling rentan terkena dampak gejolak perekonomian global dibanding negara-negara tetangganya. Selain itu yang menjadi rekor tersendiri adalah neraca perdagangan di tahun keempat Jokowi ini ternyata menjadi yang terburuk sejak tahun 1975.
Utang bunga tinggi
Kementerian Keuangan era Jokowi terlalu murah hati kepada investor pasar uang, sehingga gemar mengobral surat utang dengan bunga (kupon/yield) tinggi. Besaran bunga surat utang pemerintah Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Pasifik, bahkan lebih tinggi dari negara-negara dengan peringkat investasi di bawah Indonesia.
Tabel 5
Kebijakan penarikan utang bunga tinggi secara masif, seperti yang tengah dilakukan beberapa bulan terakhir-ini akan merugikan rakyat Indonesia di masa mendatang (karena membayar lebih mahal dari yang seharusnya), tetapi dalam jangka dapat memperkuat nilai tukar Rupiah secara sementara.
Tax ratio
Besaran penerimaan pajak terhadap PDB, tax ratio, Indonesia sebesar 11,6% (definisi luas, memasukkan PNBP SDA) termasuk yang terendah di kawasan Asia Pasifik.
Grafik 5
Besaran tax ratio (definisi sempit, tanpa memasukkan PNBP SDA) di era Jokowi sendiri selama 4 tahun terus menurun.
Grafik 6
Hal ini menunjukkan betapa lemah kemampuan pemerintahan Jokowi dalam mengumpulkan penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan negara.
Kesimpulannya, bila setelah Pilpres April 2019 Jokowi kembali menang, berkaca pada masa yang lalu, maka besar kemungkinan perekonomian Indonesia 2019-2024 akan: tetap stagnan di kisaran 5%; mengalami deindustrialisasi; mengalami kinerja BUMN yang terus melorot; rentan terhadap gejolak perekonomian global (karena indikator-indikator eksternal yang negatif); kembali mengobral utang dengan bunga tinggi; dan mengalami tax ratio yang rendah.
Akibatnya Indonesia akan semakin sulit mengejar ketertinggalannya dari negara-negara tetangganya, seperti Vietnam dan Malaysia, yang terlah lebih dahulu berlari kencang di depan, dan bukan tidak mungkin juga akan segera disalip oleh Filipina.
Sementara, bila lawan Jokowi, Prabowo, yang menang, kondisinya pasti akan berbeda. Meskipun memang saya tidak dapat mengevaluasi kebijakan ekonomi yang pernah diterapkan Prabowo, karena memang dirinya belum pernah menjabat di pemerintahan yang berhubungan dengan kebijakan publik.
Karena itu, setidaknya para calon pemilih dapat berharap dari ucapan Prabowo dan tim kampanyenya, yang menjanjikan: perubahan haluan ekonomi, kedaulatan pangan dan energi, pertumbuhan ekonomi di atas 6%, besaran tax ratio hingga 16%, kurangnya ketergantungan terhadap utang luar negeri, membangun industri mobil nasional (bukan Esemka), dan berbagai terobosan kebijakan lainnya. Tinggal bagaimana nanti kita semua mengawasi, akankah terealisasi atau tidak semua janji-janji tersebut. Que sera sera.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat