KENYATAAN bahwa usia gunung yang berjuta tahun menjadikannya saksi hidup perjalanan budaya, dan peradaban manusia. “Mendaki gunung” adalah salah satu contoh bagaimana hubungan manusia dengan gunung itu sendiri terjalin.
Jika kita sederhanakan, film 5cm adalah representasi manusia Indonesia dalam memperlakukan gunung dalam budaya kontemporer kita hari ini; merayakan kemerdekaan, mengekspresikan cinta (baik pada alam, maupun manusia lainnya), olah raga, dan seterusnya.
Berbeda dengan tradisi mendaki gunung manusia saat ini, masyarakat masa lalu Nusantara yang terkenal secara umum sebagai masyarakat Timur memiliki relasi hidup selaras dengan alam, gunung dan hutan beserta kawasan vital lainnya cenderung disakralkan, kenyataan ini menjadikan keberadaan alam tetap terjaga.
Berbeda dengan sejarah “mendaki gunung” dari budaya Barat yang dilatarbelakangi semangat “menaklukan”, sehingga konsep ekplorasi dan eksploitasi lebih dominan.
Salah satu catatan yang bisa kita jadikan referensi tentang bagaimana manusia lampau memperlakukan dan berhubungan dengan alam/gunung adalah catatan dalam naskah Bujangga Manik (sekitar abad ke 15).
Dalam catatannya, gunung-gunung sebagai wilayah yang tinggi adalah tempat “terasing”, tempat arwah nenek moyang bersemayam, gunung merupakan tempat suci, baik sebagai wilayah, maupun sebagai tempat untuk menyucikan diri itu sendiri.
Gunung adalah tempat ziarah, pertapaan, di mana Bujangga Manik sendiri tercatat melakukan penziarahan dan pertapaan suci di beberapa gunung, dari Gede-Pangrango hingga Semeru, dari Papandayan hingga Patuha yang kemudian berakhir di Gunung Ratu di daerah Bogor.
Di beberapa gunung non populer di Nusantara, hingga saat ini masih bisa ditemui beberapa bukti peninggalan yang menunjukkan sakralitas gunung-gunung.
Di gunung-gunung Bandung misalnya, sebut saja Gunung Manglayang, Tilu, Sunda, dan Patuha, di setiap puncak gunung tersebut terdapat peninggalan masa lampau yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan alam di luar manusia.
Dalam beberapa kidung (lagu-lagu), gunung juga disebutkan sebagai tetengger atau tanda dan batas sebuah negara. Lagu “Nataan Gunung” dalam pantun Sunda misal, menyebutkan bahwa Tampomas, Mandalawangi, hingga Ciremai merupakan tanda wilayah suatu negara/kerajaan tertentu.
Dalam budaya masyarakat Sunda, juga dikenal sebuah istilah yang disebut “kabuyutan”. Secara sederhana, kabuyutan memiliki arti sebagai suatu wilayah pusat keilmuan dan keagamaan dilakukan. Gunung adalah salah satu tempat yang identik dengan keberadaan kabuyutan.
Dalam catatan tentang Kerajaan Galuh (abad ke 8), disebutkan bahwa terdapat suatu kabuyutan yang dipimpin oleh Rabuyut Sawal yang sangat dihormati oleh raja-raja pada masa tersebut, tempat tersebut berada di Gunung Sawal Ciamis.
Pun demikian halnya dengan pola hidup pada masyarakat Baduy di Lebak Banten, di samping secara umum sangat menghormati alam, gunung dan hutan diperlakukan lebih di mana salah satunya disakralkan dengan keberadaan Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas, sebuah tempat yang sangat dijaga dan dipelihara keberadaan.
Dari banyak literatur tentang relasi manusia dan gunung, terutama dalam konteks filosofis, tidak jarang gunung selalu dikaitkan dengan konsep pencerahan.
Gunung merupakan tempat mencari petunjuk. Gunung Padang misal, meskipun beberapa pendapat menyebutkan “padang” berasal dari “padrang”, namun secara umum dalam bahasa Sunda dan Sansekerta “padang” diartikan sebagai “terang”, terutama dalam konteks kebatinan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang tertulis dalam naskah Bujangga Manik, di mana dalam proses ziarahnya, gunung dijadikan tempat pertapaan menuju ‘yang terang’.
Lain dulu, lain sekarang, konteks mendaki gunung sebagai mencari “pencerahan” berlaku di setiap zaman. Secara sosial mendaki gunung pada zaman sekarang, meskipun pada batas tertentu memiliki sisi negatif, akan tetapi nilai-nilai seperti; solidaritas, persaudaraan, setia kawan, dan edukasi masih relatif terjaga, bahkan nilai tersebut semacam telah menjadi aturan tak tertulis pendaki yang sakral.
Secara personal, tidak jarang banyak juga pendaki melakukan pendakian sebagai proses ziarah, proses yang kental dengan motivasi religius, katarsis, dan perenungan.
Melihat kultur mendaki dari zaman ke zaman, masa ke masa, terutama terkait apa yang nenek moyang kita lakukan pada alam, akan kah kita tetap menjaga sisi sakral dari mendaki gunung?
Oleh Pepep DW, akademisi STSI Bandung dan Penggiat Jelajah Gunung Bandung (JGB)