WALAUPUN jadi panutan bagi para yuniornya dan punya wawasan sangat luas Haji Agus Salim hidup sederhana.
Suatu hari Mohamad Roem dan Kasman Singodimedjo, yang merupakan salah satu dari sekian banyak orang pergerakan pada masa itu, naik sepeda ke rumah Agus Salim di kawasan Tanah Tinggi.
Agus Salim tinggal di kawasan rakyat biasa. Rumahnya rumah kampung dan kalau hujan jalan menuju rumahnya yang berlobang biasanya becek dan penuh lumpur, sehingga tidak jarang sepeda Kasman harus ditenteng.
Di saat seperti itu sepeda dan orang bertukar fungsi: sepeda menunggangi orang, bukan sebaliknya. 

Kata Kasman dalam sebuah percakapan dengan Agus Salim, jalan pemimpin memang bukan jalan yang mudah.
Memimpin adalah jalan yang menderita. 

Ucapan Kasman ini punya arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. 

Dalam bahasa Belanda ada dua kata yang berbunyi sama, tetapi ditulis berbeda: leiden (memimpin) dan lijden (menderita).
Waktu itu Kasman berkata: ‘’Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden…’’ . 

Menjadi orang pergerakan pada masa itu memang merupakan panggilan hidup. 

Dalam bahasa Latin sendiri ada kata ‘’vocatio’’ yang berarti panggilan. Tiap orang memiliki vocatio masing-masing.
Para tokoh pergerakan ketika itu berpikiran walaupun negeri ini terjajah, mereka harus jadi manusia merdeka, maka jadilah vocatio mereka: orang pergerakan.
Omongan Kasman bahwa ‘’Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden…’’ di kemudian hari terbukti. Dia empat kali dijebloskan ke penjara. Sekali di zaman Belanda, dan tiga kali oleh rezim Sukarno.
Bung Karno sendiri sebagai orang pergerakan mengalami total sembilan setengah tahun masuk-keluar bui dan jadi orang interniran.
Demikian pula Hatta dan Sutan Sjahrir dari mulai jadi Digulis dengan ancaman malaria dan digigit buaya sampai dibuang ke Banda Neira.
Tapi ini bukan berarti seorang pemimpin atau orang-orang pergerakan tidak bisa hidup bahagia. Bahagia dalam keluarga, bahagia dalam hidup bercita-cita, dengan idealisme, garis perjuangan, dan keyakinannya.
Dan seperti kata Aristoteles, nilai manusia sesungguhnya bukanlah ditentukan oleh kehancuran yang menimpa dirinya, tetapi pada perjuangannya mempertahankan harkat dirinya, cita-citanya, dan keyakinannya.
Apa yang dimaksud dengan orang pergerakan?

 Dalam pandangan tokoh nasional Dr Rizal Ramli orang pergerakan adalah patriot yang mempunyai garis perjuangan, ideologi, dan yang dengan visinya menjadi penunjuk jalan bagi rakyat dan bangsanya.
Orang pergerakan diuji oleh berbagai goncangan, masuk bui, mengalami tekanan mental dan karakter, hingga cobaan lainnya demi cita-cita kebenaran yang menjadi keyakinan.
Apa bedanya dengan aktivis? 

Aktivis umumnya digerakkan oleh sponsor, dan seperti yang banyak terjadi saat ini ketika 
ditarik ke dalam kekuasaan, sebagian aktivis ternyata bisa lebih rusak dari birokrasi.
Itulah yang nampak dalam hari-hari belakangan ini, sejumlah aktivis yang mendapat jabatan di BUMN dan di DPR misalnya jadi seperti bunglon atau badut belaka yang berkubang sesat oleh karena teler akibat kekuasaan.
Salah satu ciri aktivis adalah automatic segmentation, segmentasinya tergantung pada lembaga donor. Ia bergerak atas dasar agenda international untuk berbagai kepentingan asing melalui berbagai macam isu.
Sedangkan orang pergerakan di luar atau di dalam kekuasaan attitude-nya sama. Tetap 
menyuarakan kebenaran dimana-mana. Dan seperti rajawali ia memilih jalannya sendiri untuk melihat kebenaran dengan mata hati dan telinga yang mendengarkan suara rakyat jelata.
Jangan gampang mengaku-ngaku aktivis hanya karena pernah berdemonstrasi. Sekarang saatnya para aktivis melakukan self correction dan otokritik, untuk renaissance of political movement, menjadi pejuang yang terhormat, menjadi orang pergerakan yang bermartabat.
Generasi Sukarno dan generasi sebelumnya seperti Cipto Mangunkusumo, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan seangkatan mereka adalah orang-orang yang mendisiplinkan diri menurut kehendak cita-cita mereka masing-masing.
Mereka mengalami zaman yang penuh gejolak perlawanan terhadap kolonialisme, perang dunia, revolusi, bahkan perang saudara akibat perbedaan politik dalam negeri. Kematangan politik mereka datang dari persoalan-persoalan seperti itu.
Apa bedanya dengan sekarang? 

Secara esensi sebenarnya masih sama. 
Ekonomi kita masih dijajah oleh asing melalui kaki tangan neoliberalisme yang merupakan pintu masuk bagi kolonialisme dan imperialisme baru, kebudayaan kita goyah oleh karena serbuan budaya global tanpa kita filter, identitas kebangsaan kita pudar, terjadi kekosongan ideologi.
Sehingga Pancasila seakan hanya tinggal replika burung yang meringis-ringis, elit kita saat ini umumnya neo-priyayi dengan hasil kinerja neo-pepesan kosong belaka, dan seterusnya dan sebagainya.
Persoalan-persoalan negeri dan kebangsaan kita sekarang tidak kalah gawatnya dengan yang dulu, sehingga yang dibutuhkan sekarang antara lain adalah kesadaran sejarah.
Dibutuhkan orang-orang pergerakan, yang memiliki visi keindonesiaan, ideologi berupa garis perjuangan yang memihak kepada rakyat jelata dan integritas moral yang terjaga.
Bukan lagi aktivis, apalagi kalau sekedar aktivis gombal dengan tambal sulam disana-sini yang beraktivitas untuk sekedar meyakin-yakinkan tetangga dan calon mertua belaka.
Oleh Arief Gunawan, Jurnalis Senior