KedaiPena.com – Cuaca panas menyengat, atau ekstrem, tercatat terjadi di banyak wilayah Asia. Seperti yang terjadi di Bangladesh dan India yang mencapai 51 derajat. Sementara di Asia Tenggara, ada Laos dan Thailand yang mencatatkan rekor terpanas.
Juru Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari menyatakan gelombang panas pun melanda Indonesia, walau tak seekstrem negara-negara yang telah disebut.
“Karena yang paling panas itu tercatat di Ciputat ya 37-an derajat celcius. Itu kalau menurut BMKG belum terlalu ekstrem, belum di atas 40 derajat celcius sehingga kita belum masuk kategori terkena gelombang panas,” kata Adila, Minggu (30/4/2023).
Ia menyebutkan suhu panas yang telah terjadi beberapa waktu belakangan ini, tak hanya terjadi karena gerak semu matahari dan minimnya tutupan awan, tapi juga karena pengaruh krisis iklim.
Tercatat sudah banyak studi yang menyimpulkan bahwa tren krisis iklim meningkatkan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas di negara-negara Asia. Terutama yang terletak di Lintang Menengah hingga Lintang Tinggi, termasuk Indonesia.
“Jadi yang memicu rekor suhu-suhu terpanas yang terjadi di Indonesia maupun negara Asia Tenggara lainnya, krisis iklim ini sebenarnya. Suhu panas karena gerak semu matahari itu sudah terjadi sejak dulu ya. Tren pemanasan global ini ternyata yang meningkatkan intensitas, frekuensi, dan juga durasinya, lebih panjang nih kita kena suhu panas ini,” paparnya.
Adila menyebutkan saat ini baru 1,1 derajat celcius suhu temperatur global dan akan terus naik bila negara tidak melakukan terobosan dalam menyelamtkan iklim.
“Kita tuh track-nya akan mencapai, katanya menurut EPCC, bukan menurut saya, bahkan EPCC bilang kalau kebijakan negara-negara gini-gini aja nih untuk aksi iklimnya, kita bisa menembus 1,5 derajat. Itu bahkan di pertengahan tahun 2030 mendatang. Padahal mengacu pada Paris Aggrement sebetulnya kita menahan 1,5 derajat celcius itu kenaikannya di tahun 2100 gitu kan. Tetapi kalau kita gini-gini saja kebijakannya, itu akan naik ke 1,5 derajat bahkan lebih dari 2 derajat celcius,” paparnya lagi.
Dengan peningkatan suhu 1,1 derajat celcius, terpantau panasnya telah mencapai rekor. Bahkan sejak 2015 selalu mencatat rekor-rekor terpanas setiap tahunnya. Pada 2021 terpanas, 2020, bahkan 2022 kemarin itu pun masuk ke suhu terpanas secara global. Dan pastinya, ancaman-ancaman tersebut tidak hanya heat waves saja tetapi bencana hidrometeorologi lainnya akan bertambah semakin katastropik. Seperti heavy rainfall, hujan yang tiba-tiba curah hujannya tinggi sekali, terus juga kekeringan yang semakin parah.
“Akan semakin tinggi intesitasnya, durasinya, frekuensinya, bahkan itu semua sudah diperhitungkan dalam model IPCC yang baru kemarin meluncurkan sintesis reportnya. Bahwa tidak hanya heat waves tapi bencana seperti curah hujan meningkat akan semakin parah ke depannya. Apalagi ketika kenaikannya lebih dari 1,5 deraja celcius gitu, kita tuh nggak bisa lagi menahan dampaknya terutama dampak kepada masyarakat, dampak kepada kesehatan itu akan semakin parah lagi, itu yang kita takutkan,” kata Adila.
Untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan, ia meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis agar cuaca panas tidak terjadi seperti di Myanmar, Laos, Thailand yang mencapai 45 derajat. Terlebih posisi Indonesia deket dengan negara-negara tersebut.
“Harusnya pemerintah bersiap-siap menurut saya. Bagaimana kita akan melakukan adaptasi, mitigasi, apalagi kalau kita lihat daerah perkotaan itu akan semakin merasakan panas yang semakin panas dibandingkan wilayah lainnya karena kita ada urban heat island dan lain-lain. Jadi pemerintah Indonesia baik nasional dan kota sudah harus siap-siap bagaimana kita harus adaptasi. Ini dampaknya sudah semakin parah dan kita nggak bisa cuma ngomongin mitigasi tapi juga adaptasi, gimana kita menyiasatinya karena bencana iklim ini bukan nanti-nanti tapi sudah terjadi,” ujarnya.
Ia menekankan agar pemerintah benar-benar menyiapkan adaptasinya lantaran saat ini baru sebatas masyarakat yang melakukan secara mandiri. Misalkan bila pada level masyarakat saat membicarakan soal cuaca panas, mereka menghindar untuk keluar rumah. Sedangkan pemerintah hanya mengimbau masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar ruangan.
“Tetapi nanti ke depannya pastinya krisis iklim dan bencana ikutannya akan membawa dampak ke ekonomi semakin besar, dan juga mengancam kesejahteraan masyarakat. Misalkan ketika bertambah panas, kelangkaan pangan bagaimana, bahkan aktivitas ekonomi luar ruang atau misalnya pertanian, bagaimana nanti mereka akan bekerja dengan suhu yang panas seperti ini. Itu kan pasti akan mengancam ketahanan pangan kita sendiri,” ujarnya lagi.
Selain itu, Adila juga memperingatkan untuk mewaspadai kenaikan muka air laut, terutama untuk daerah Pesisir.
“Kita kan negara pesisir dengan panjang pantai kedua terpanjang di dunia, jadi bagaimana sih kita berhadapan nanti nggak cuma gelombang panas saja tetapi juga ketika suhu semakin tinggi lelehan es dari kutub akan semakin tinggi dan akan menyebabkan dampak lebih parah,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa