PENANGKAPAN terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat oleh pihak kepolisian kembali terjadi. Penangkapan tersebut sering kali disebabkan karena para aktivis tersebut membela kepentingan rakyat dan berhadap-hadapan dengan pihak korporasi atau pemilik modal.Â
Kali ini bahkan penangkapan tersebut terjadi di sekretariat bersama Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) di Jakarta. Pada tanggal 11 Oktober 2016 lalu, pukul 00.30 WIB, sekitar 15 aparat kepolisian berpakaian preman yang berasal dari Polres Tulang Bawang, Lampung menangkap Pendeta Sugiyanto karena diduga telah menghasut petani untuk melawan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).
‎Sebelumnya, pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 19.00 WIB, Pendeta Sugiyanto bersama kawan-kawan petani lainnya datang ke sekretariat bersama KPRI untuk mendiskusikan duduk perkara kasus yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.Â
Namun diskusi tersebut belum terjadi karena para pengurus dan pimpinan nasional KPRI sedang menggelar rapat rutin hingga terjadinya penangkapan oleh aparat kepolisian.Â
Bagi pimpinan nasional KPRI, penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto tersebut tentu saja mengejutkan karena sebelumnya tidak pernah diketahui bahwa Pendeta Sugiyanto sedang dalam Target Operasi oleh pihak kepolisian.
‎Terkait penangkapan tersebut, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia mengecam penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto, yang selalu mendampingi Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL, oleh aparat kepolisian. Pendeta Sugiyanto dijadikan tersangka karena peristiwa bentrokan, pada tanggal 1 Oktober 2016, antara massa Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL dengan petugas pengamanan Swakarsa, di areal pendudukan lahan oleh warga di PT BNIL Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.Â
Peristiwa penangkapan ini sendiri menunjukkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat masih terus berlangsung.‎
Perselisihan antara warga Tulang Bawang dengan PT. BNIL itu sendiri merupakan konflik yang sangat panjang, yakni dimulai pada tahun 1993 ketika lahan milik warga dirampas secara paksa PT. BNIL untuk menjadi lahan tebu.Â
Pada tahun itu, PT. BNIL bersama aparat TNI dan kepolisian memaksa warga untuk menjual lahannya kepada PT. BNIL dan hanya diberikan uang ganti rugi sebesar Rp. 100 ribu. Di tahun-tahun berikutnya, warga kembali dipaksa untuk menyerahkan lahannya melalui transaksi jual beli dengan disertai ancaman, intimidasi dan kekerasan.Â
Sejak konflik tersebut muncul di tahun 1990an, peristiwa tersebut telah menyebabkan adanya 9 korban jiwa.‎
Untuk permasalahan tersebut, warga telah mengadukan kasusnya ke Komnas HAM terkait pelanggaran pendudukan lahan mereka oleh PT. BNIL. Dari 6.500 hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. BNIL tersebut, masyarakat hanya memperoleh relokasi seluas 3.000an hektare.Â
Sementara PT. BNIL sendiri juga tersangkut masalah pelanggaran perizinan, khususnya terkait pelanggaran UU No 32 Tauhn 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Â
Di dalam UU tersebut diatur bahwa setiap kegiatan usaha harus memiliki izin lingkungan dan dokumen AMDAL, sedangkan saat ini PT BNIL telah melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan.Â
Terkait hal ini pun, warga telah membawa persoalan ini ke Komisi II DPRD Provinsi Lampung dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
‎Hingga pada September 2016, sekitar 2000an petani di Tulang Bawang kemudian melakukan aksi pendudukan lahan perkebunan tebu PT. BNIL untuk melakukan perlawanan. Para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran PT. BNIL tersebut mendirikan tenda-tenda di sekitar areal perkebunan.Â
Namun pada tanggal 1 Oktober 2016 lalu, aksi pendudukan lahan oleh petani Tulang Bawang didatangi Pamswakarsa dan kemudian memprovokasi warga hingga terjadi bentrokan. Peristiwa bentrokan tersebut mengakibatkan puluhan tenda terbakar dan belasan kendaraan roda dua hangus terbakar.Â
Sebuah traktor juga turut terbakar beserta mobil yang diduga milik PT BNIL hancur. Dari peristiwa ini, POLDA Lampung kemudian mengerahkan empat kompi pasukan untuk menyerang warga yang masih menduduki lahan dan kemudian menangkap 12 orang petani serta menjadikan sejumlah aktivis yang mendampingi warga sebagai target operasi, termasuk salah satunya Pendeta Sugiyanto.‎
Penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto dapat dimaknai sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan kepada PT BNIL yang jelas-jelas memang telah melanggar peraturan di Indonesia, serta merampas hak rakyat.
‎Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia menyatakan sikap:
1.       Mengecam tindakan penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto dan bebaskan Pendeta Sugiyanto dari seluruh sangkaan serta tuntutan karena sesungguhnya yang dilakukan Pendeta Sugiyanto merupakan upaya membela hak-hak rakyat;
2.       Mengecam upaya-upaya kriminalisasi terhadap seluruh aktivis gerakan rakyat di Indonesia;
3.       Bangun kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera;
4.       Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia
Oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional ‎Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), ‎Chabibullah                                                           Â