KedaiPena.com – Beratnya beban subsidi maupun kompensasi yang harus ditanggung pemerintah, dinyatakan sebagai buah yang harus dituai pemerintah sebagai akibat kesalahan pemerintah dan ketidakefisienan Pertamina.
Pengamat Migas CERI, Yusri Usman menyatakan juga tak memahami mengapa Revisi Kepres 191 tahun 2019 belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Ia juga mempertanyakan, apakah ada pihak yang mengintervensi proses revisi ini.
“Katanya sudah lama di meja Presiden. Apakah mafia BBM ikut intervensi sehingga belum ditandatangani. Revisi ini berkaitan dengan kriteria kendaraan yang dibolehkan menggunakan BBM Subsidi Solar dan BBM Penugasan Pertalite, agar Pertamina mempunyai payung hukum dalam menyalurkan di SPBU,” kata Yusri saat dihubungi, Jumat (2/9/2022).
Ia juga menyatakan jika digitalisasi 5518 SPBU Pertamina yang telah diinvestasikan oleh anak usaha PT Telkom senilai Rp3,6 triliun juga tidak berfungsi, maka wajar saja jika kuota BBM subsidi dan penugasan jebol dimainkan oleh mafia BBM.
“Jangan berharap masyarakat bisa sadar, jika kantonge mereka kosong. Kesadaran Akan muncul jika kantong tebal. BBM subsidi dan penugasan kata Nicke (red: Direktur Pertamina) banyak bocor ke industri tambang dan sawit serta kehutanan, kenapa mereka yang sangat mampu malah minum BBM orang tak mampu,” ujarnya dengan tegas.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Yusri kembali menegaskan, bahwa kuncinya hanya satu. Yaitu efisiensi Pertamina dan keterbukaan proses tender. Pertamina tidak bisa melakukan penunjukan langsung.
“Proses bisnis Pertamina pelaksanaannya harus tranparan, fair dan akuntable. Buka terang benderang mekanisme tender beli BBM di ISC (Intergrated Supply Chain) di PT Pertamina Patra Niaga dan sistem tender minyak mentah di ISC Kilang Pertamina International,” ujarnya lagi.
Selain itu, Yusri juga menegaskan bahwa tak boleh ada praktik main tunjuk langsung sesama ‘Anak dan Cucu’ usaha di Pertamina,
“Karena kegiatan itu telah terjadi potensi inefisiensi sekitar 10 persen hingga 20 Persen. Harus transparan, jangan sembunyi sembunyi. Karena saya dengar ada sambo sambo juga di proses ini,” ungkapnya.
Efisiensi dan keterbukaan Pertamina, lanjutnya, tak hanya memberikan harga BBM terjangkau kepada masyarakat, yang sekaligus tak membebani APBN.
“Kualitasnya juga akan semakin baik. Kualitas BBM Pertamina harus bisa semuanya standar Euro 4, bukan seperti sekarang. Pertamax 92 saja masih Euro 2, itu merusak kesehatan masyarakat. Bandingkan harga Gasoline Ron 97 Euro 5 Malaysia non subsidi bisa dijual di SPBU mereka seharga Rp14.500 per liter,” ungkapnya lagi.
Tak hanya Pertamina, Yusri juga mengungkapkan bahwa pemerintah Jokowi juga melakukan kesalahan dengan tidak memprioritaskan pembangunan infrastruktur Migas sejak tahun 2014.
“Sibuknya ke infrastruktur jalan tol. Ketika harga minyak melambung, beban subsdidinya sangat menguras APBN. Coba jaringan gas dibangun banyak sejak 2014, pasti sangat mengurangi impor LPG. Sedihnya lagi, tol yang terbangun ternyata tidak bisa menopang beban APBN, karena mahal dan sepi akhirnya banyak yang rugi dan terpaksa dijual lebih murah untuk menutup hutang,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa