KedaiPena.Com- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah diminta dapat menolak tawaran mengelola wilayah tambang dari Pemerintah. Permintaan itu disampaikan Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu Din Syamsuddin.
Din memandang, bahwa langkah pemerintah yang resmi mengizinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) memiliki banyak mudharat dari pada maslahatnya.
“Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan PP Muhammadiyah menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (problem maker) bukan bagian dari masalah (a part of the problem),” tegas Din dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa,(4/6/2024).
Din menilai, yang diperlukan pemerintah saat ini ialah aksi afirmatif yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan bukan diperdayakan.
Din memandang pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat Pilpres 2024 akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi.
Din merasa kooptasi tersebut termasuk peredaman akan tuduhan ketakadilan dan dibaliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi kaum kleptokrat di pemerintahan.
“Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata,” tegas Din.
Din mengaku, pemberian konsesi tambang batubara kepada NU dan Muhammadiyah juga tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua ormas islam itu kepada tanah air selama ini.
“Dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki segelintiran kelompok,” jelas Din.
Din menegaskan, pemberian konsensi tambang batubara secara cuma-cuma kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan.
Sebab, kata Din,sistem tata kelola Tambang dengan menggunakan IUP dan kontrak karya merupakan sisa peninggalan zaman kolonial.
“Adalah sistem zaman kolonial berdasarkan UU Pertambangan zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020,” imbuh Din.
Din menekankan, sistem IUP tidak sesuai konstitusi Indonesia lantaran tidak menjamin bahwa perolehan negara atau APBN harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang.
“Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oknum Pejabat Negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan wewenang Pemberian IUP sebagai sumber korupsi,” beber Din.
Din khawatir ,apabila ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka tidak ada lagi yang diharapkan untuk memberi solusi.
“Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi,” pungkas Din.
Laporan: Tim Kedai Pena