KedaiPena.Com – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai, ada kejanggalan dari putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar yang memenangkan praperadilan tersangka kasus e-KTP Setya Novanto (SN).
Menurut Miko, sapaannya, kejanggalan putusan terdapat dari isi proses praperadilan yang dijalankan oleh Hakim Cepi Iskandar. Hal itu pula yang menguatkan bahwa jalannya praperadilan tidak dalam kondisi ideal.
“Kejanggalan dalam sisi proses seperti saat hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara,” imbuh dia dalam keterangan kepada KedaiPena.Com, Minggu (1/10).
“Lalu juga saat penasehat hukum Setya Novanto yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket. Seharusnya hal ini menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan praperadilan,” sambung dia.
Tidak hanya itu, kata Miko, dari sisi substansi salah satu pertimbangan yang mencolok adalah ketika hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka adalah tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.
Pertimbangan ini, menurut Miko sangat bermasalah, karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja.
“Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain,” jelas dia.
Berikutnya, Miko menjelaskan, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap SN tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan. Hal ini menurut hakim menyimpangi Pasal 44 UU KPK.
Padahal, tegas Miko, jika dirunut bahwa penetapan tersangka terhadap SN dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya adalah telah diperoleh minimum 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
“Oleh karena itu, KPK sah saja menetapkan SN sebagai tersangka sepanjang memiliki kecukupan alat bukti, yaitu minimal 2 (dua) alat bukti sah,” beber dia
Kemudian yang perlu diluruskan, lanjut Miko, yakini praperadilan SN bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara. Praperadilan SN hanya menguji apakah penetapan tersangka terhadap dirinya sah atau tidak.
“Hakim dalam konteks ini menurut Perma No. 4 Tahun 2016 hanya menguji “aspek formil” dari minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang dimiliki,” ungkap dia.
“Penentuan bersalah atau tidaknya SN nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara. Artinya, putusan Praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana,” jelas dia.
Dengan kondisi demikian, Miko meminta agar Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam memberikan respon atas putusan Praperadilan yang telah memenangkan Setya Novanto. Sekalipun, kata Miko, peraturan MA No. 4 tahun 2016 menyatakan bahwa terhadap putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
“Namun, peraturan yang sama memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan. Begitu juga KY yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim,” imbuh dia.
Laporan: Muhammad Hafidh