KedaiPena.com – Pengamat Ekonomi Center of Reforms on Economic (CORE), Piter Abdullah menyebutkan langkah Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga memiliki risiko.
“Ada potensi capital outflow atau keluarnya modal asing, yang bisa melemahkan rupiah. Dampaknya, bisa kemana-mana nanti,” kata Piter saat dihubungi, Minggu (24/7/2022).
Menurutnya, BI pasti akan menaikkan juga suku bunga. Jika The Fed sudah menaikkan Suku Bunga lagi, itu menjadi pertanda, BI pun harus menaikkan suku bunga.
“Menurut saya secepatnya. Sekarang ini spread suku bunga dalam negeri dengan suku bunga luar negeri sudah terlalu sempit. Risiko capital outflow sudah naik. Kalau the fed menaikkan suku bunga lagi risiko nya tambah besar,” ujarnya.
Piter menyatakan dalam krisis global paska serangan Rusia ke Ukraina, perekonomian Indonesia mendapatkan keuntungan.
“Kenaikan harga komoditas yang saat ini menjadi beban bagi banyak negara lain justru menjadi limpahan berkah bagi Indonesia. Penerimaan pemerintah mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan selama periode booming harga komoditas,” ujarnya lagi.
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa struktur ekonomi indonesia juga cukup kokoh ditopang oleh berbagai badan usaha baik yang dimiliki oleh negara (BUMN) maupun swasta nasional di berbagai sektor ekonomi.
“Indonesia punya Pertamina, Inalum, Telkom, Bank Mandiri, Bank BCA, Medco, hingga Indofood, yang kiprahnya tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga global. Semuanya aktif memutar perekonomian Indonesia menghasilkan output nasional sekaligus menjadikan Indonesia termasuk 20 besar ekonomi dunia,” kata Piter.
Diluar itu, Indonesia juga memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang terencana cukup baik.
“Fiskal sangat disiplin. Hutang pemerintah tidak pernah melewati batas 60 persen PDB. Dengan kinerja perekonomian yang konsisten didukung kedisiplinan pemerintah mengelola fiskal, investor asing dan domestik tidak pernah kehilangan keyakinannya untuk membeli surat-surat utang Indonesia. Fiskal terjaga dengan terus berputarnya hutang pemerintah,” tuturnya.
Ia mengakui bahwa pandemi memang sempat membuat Indonesia jatuh ke jurang resesi. Tetapi koordinasi kebijakan yang sangat baik antara pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat perekonomian Indonesia cepat kembali pulih.
“Meskipun perekonomian dilanda resesi, sistem keuangan Indonesia relatif terjaga stabil. Response kebijakan yang terukur dari OJK mampu menjaga sistem keuangan tidak mengalami pemburukan yang berarti,” tuturnya lagi.
Ia juga menyampaikan bahwa indikator-indikator utama di pasar keuangan, industri perbankan, dan industri keuangan non bank selama pandemi masih menunjukkan kinerja yang relatif baik.
“Antara lain, kualitas kredit atau pembiayaan (NPL dan NPF), permodalan, dan likuiditas. Kualitas kredit perbankan atau pembiayaan di lembaga pembiayaan meskipun sempat sedikit meningkat diawal masa pandemi, selalu terjaga di level yg relatif aman. NPL dan NPF tidak pernah melewati batas psikologis 5 persen, selalu di kisaran 3 persen,” ungkapnya.
Dari sisi permodalan, lembaga keuangan perbankan, lembaga pembiayaan dan asuransi masih memiliki kecukupan modal. CAR perbankan terjaga di atas 20 persen. Sementara gearing ratio industri pembiayaan dan RBC industri asuransi jiwa dan asuransi umum juga aman memenuhi treshold masing-masing industri.
“Terakhir dari sisi likuiditas. Sistem keuangan indonesia juga memenuhi batas-batas likuiditas yang dipersyaratkan. Rasio alat likuid perbankan terhadap non core deposit senantiasa berada diatas treshold, yaitu 50 persen. Demikian juga dengan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga tidak pernah dibawah treshold 10 persen,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa