Artikel ini ditulis oleh Tulus Sugiharto, Pemerhati Sosial dan Politik.
Pada satu hari di tahun 1992 jelang tengah malam, Sandra Georgina mengangkat telpon rumahnya, meski sempat sedikit kesal, tapi sesaat kemudian raut muka ibu ini berubah cerah. Sambil menutup separuh telponnya, ia berbisik pada suaminya, “its from Alex“, telepon itu berasal dari Alex Ferguson, pelatih Manchester United.
Tak lama dari telepon itu, anak Sandra, David Beckham di usia 17 tahun menandatangani kontrak profesionalnya sebagai pemain Manchester United. Sejak itu karirnya melonjak, selain MU, Beckham juga pernah bermain di Real Madrid, Los Angeles Galaxy, AC Milan dan Paris Saint-Germain. Hebatnya selama bermain di kesebelasan yang diperkuatnya baik itu Inggris, Spanyol, Amerika Serikat, Italia dan Prancis, seluruh klub yang diperkuatnya selalu menjadi juara liga.
Rekor Beckham lainnya adalah menjadi kapten Tim nasional Inggris selama 6 tahun, di mana ia memegang rekor penampilan untuk pemain non-penjaga gawang dengan bermain 115 kali untuk Three Lions.
Mudah jadi seperti Beckham? Nggak juga, bukan hanya karena bakatnya, tapi memang dia berlatih dengan sangat keras, memulai dari kompetisi tingkat lokal hingga ke tingkat regional secara berjenjang. Di negara maju bola seperti Inggris, Spanyol, Jerman dll ada kompetisi tingkat anak dan remaja yang bergulir tiap minggu. Kata seorang pengamat bola, seorang anak atau remaja jika mau jadi profesional, harus main minimal full 30 kali dalam setahun.
Salah satu kehebatan Beckham adalah tendangan melengkungnya, baik ketika mencetak gol melalui tendangan bebas atau memberikan umpan pada kawannya, tendangan ini kemudian dikenal dengan nama “Bend It Like Beckham“ .
Di Netflix tergambar betapa Beckham berlatih keras dan berulang kali tanpa lelah untuk mendapatkan keahliannya menendang bola seperti itu, meminjam judul lagunya Phil Collins era saat Beckham saat masih remaja judulnya “Against all Odds”. Melawan semua rintangan di setiap jenjangnya.
Melawan rintangan menjadikan proses seseorang naik kelas, kesulitan dalam hidup menjadikannya untuk berpikir ke depan, bahkan harus out of the box untuk mencapai sesuatu. Semua itu ada prosesnya.
Jelang akhir dokumenter David Beckham di Netflix, tergambar betapa ia melatih Romeo untuk menjadi pemain bola yang handal. Saat ini Romeo sudah berumur 20 tahun dikontrak tim Brentford B, atau tim cadangan klub Brentford yang kini bermain di Premier League. Memang jauh sih prestasi ayah dan anak ini. Tapi di berbagai media, Beckham menyebut betapa bahagia dan bangganya Romeo melanjutkan karirnya sebagai pemain bola.
Jadi ikutilah Beckham dan Victoria “Posh“, tidak pernah mengarahkan karier anaknya tapi membantu karir anaknya secara profesional dari bawah.
Kalau jadi pemimpin publik? Harusnya sama lah dari bawah, kenal dulu problem dan kebutuhan rakyat kecil di bawah agar nanti jadi pemimpin tahu betul masalahnya. Tahu masalah nyata bukan kata tim suksesnya, bukan dibantu bapak, bukan dibantu oleh MK “Mahkamah Keluarga“.
Bang RR itu merintis karir dari bawah, tidak mungkin karena dibantu orang tuanya karena sudah meninggalkannya sejak masih kecil. Mulai dari tingkat mahasiswa berjuang untuk demokrasi, sekolah gratis, KKN hingga harus dipenjara, saat sudah sukses sekolah di Amerika pun datang kesini tetap pada posisinya mengkritisi pemerintah dalam dalam hal kebijakan Mobil Nasional, Pupuk Urea, Pertambangan Freeport, dan sebagainya.
Bang RR memang pernah jadi pejabat negara, Kepala Bulog, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, Menko Maritim dan sederet jabatan Komut di BUMN kelas atas di dua Presiden berbeda. Tapi apakah dia mengarahkan anaknya jadi seperti dia? Apakah memberi fasilitas agar sukses seperti dirinya. Jawabannya Tidak, ia hanya memberi nasehat, anak-anaknya harus against all odds dalam hidup dan harus mandiri.
Makna nama Beckham artinya “wisma di tepi sungai“ maka tak heran jika lagu kesukaan Beckham dan istrinya Victoria ”Posh” Island In The Stream, yang dinyanyikan duet Kenny Rogers dan Dolly Parton. Potongan liriknya “That is what we are, No one in between, How can we be wrong? Sail away with me, To another world”. Hidup diisi tentram setelah bekerja keras didapat bukan hasil KKN, mengecewakan atau menghianati orang lain.
Bang RR sebetulnya sudah sampai pada Island in the streamnya, tapi dia masih against all odds, bersama kawan-kawannya “because we shared the laughter and the pain“ melawan rintangan untuk terus mensejahterakan rakyat Indonesia, 5 atau 10 tahun kedepan.
[***]