Artikel ini ditulis oleh Tulus Sugiharto, Pemerhati Politik dan Ekonomi.
Ketika Jerman terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 1936, Adolf Hitler baru berkuasa sekitar tiga tahun. Momen tuan rumah perhelatan olahraga terbesar didunia ini dijadikannya melakukan serangkaian propaganda bahwa bangsa Jerman (Arya) sebagai bangsa terkuat. Aktor propaganda pro Hitler namanya Joseph Goebbels. Meski mengalami sedikit cacat di kakinya, tapi Goebbels memiliki kecerdasan yang tinggi mendapatkan beasiswa dan meraih gelar doktor dalam usia muda, belum sampai 25 tahun. Goebbels terlahir seorang yang taat pada agama, tidak anti Semit. Goebbels lulus setelah dibimbing Max Wahlberg, seorang Yahudi. Goebbels jadi anti semit setelah melihat Hitler menjadi terdakwa di tahun 1924 dan kemudian menjadi pengikut Hitler setelah keluar dari penjara.
Nah si Gobbles yang saat itu bisa disebut generasi millenial Jerman at that time, mendalami seni propaganda. Caranya ia menggunakan media teknologi terkini dan termaju saat itu atau kalau sekarang tuh menggunakan teknologi media baru, media yang berbasis pada internet. Teknologi terbaru saat itu adalah mengunakan merekam sebuah kejadian dengan kamera dan kemudian menyebarkannya melalui bioskop, ruang teater, bar, melalui radio, koran dll.
Gobbles menugaskan seorang artis sekaligus sutradara muda Leni Riefenstahl untuk membuat cerita mengenai kehebatan Jerman di perhelatan olimpiade.
Kehebatan orang Jerman dalam olahraga inilah yang kemudian menjadi sebuah rantai fantasi bahwa Jerman adalah bangsa yang tidak terkalahkan. Padahal saat Hitler berkuasa 1933, Jerman kalah perang 17 tahun sebelumnya.
Jerman juga tidak hebat-hebat amat di Olimpiade, saat itu ada seorang pelari atas Amerika Serikat Jesse Owens yang kebetulan berkulit hitam, tapi mampu rebut 4 medali emas dicabang atletik melalui lari dan lompat jauh. Owen mengalahkan propaganda bangsa Jerman adalah bangsa pelari tercepat. Saat meraih mendali emas lari 100 meter, Hitler menolak untuk berjabat tangan dengan Owens.
Fakta, fakta dan fakta bisa mengalahkan propaganda. Proses manipulasi yang berulang kali dan dilakukan secara sistematis bisa merubah sebuah kebohongan seolah, sekali lagi seolah menjadi kebenaran. Jadi bisa saja berbohong terus menerus dengan melakukan pencitraan dan dengan setolol-tololnya mengikut saran dari spin doctor komunikasi sehingga melakukan propaganda untuk mencapai sebuah tujuan. Perlu diulangi bahwa fakta demi fakta yang berlainan dengan kebohongan bisa menjadi penyebab runtuhnya propaganda itu.
Propaganda? Kali ini menurut bang Rizal Ramli di ID-Times, katanya rumus propaganda Goebbels sederhana, yakni jika suatu kebohongan direkayasa, dibuat setiap hari, diputar setiap hari, kebohongan itu menjadi kebenaran.
Kata-kata bang RR, diputar setiap hari itu benar, karena dulu teknologi masih dalam bentuk tape recording, harus diproses editing yang agak lama, jadi hitungannya harian.
Tapi sekarang mah, shooting sendiri, kasih komentar sendiri, kasih efek sendiri, edit sendiri, upload sendiri, tayangan sendiri, terakhirnya kadang muji sendiri.
Back to bang RR, memang para pendukung penguasa itu kerap melakukan teknik propaganda dan sekarang lebih cepat, bukan lagi hari tapi menit bahkan detik. Kalau dulu pelaku propaganda di era Nazi Jerman hanya terbatas pada Hitler, Goebbels dan Leni Riefenstahl, nah sekarang ratusan? Bahkan mungkin ribuan menjadi agen seperti si Leni itu – namanya Buzzer RP. Teknik propagandanya menggunakan data Sure-Pay (Baca : Survey) dan kerap disebarkan melalui media mainstream baik yang berbasis listrik, satelit hingga internet.
Dear Gen Now, jika nggak kritis dan kerjaannya cuma percaya pada info-info yang berisi propaganda maka siap-siap seperti Jerman di era Nazinya si Hilter, hanya bertahan 12 tahun habis itu kalah total dalam perang dunia ke II.
Jerman itu dipenuhi oleh banyak filsuf, pemikir mulai dari era Immanuel Kant hingga pemikir kritis seperti Friedrich Nietzsche, Karl Marx, pemikir seperti Goethe, pemikir kritis yang membuat Frankfurt School seperti Adorno dan Horkheimer, tapi kenapa pemikiran mereka kalah sama seorang Kopral HItler? Para pemikir atau filsuf Jerman itu bicara kebenaran tapi Hitler bicara kebohongan yang disukai mayoritas orang Jerman yang kalah Perang Dunia I.
Jadi bang RR itu bisa disebut filsuf, filsuf yang bukan hanya bicara kebenaran yang menurut gue gw filsuf yang anti propaganda bohong. Why? dia bicara kebenaran dengan data, memecahkan masalah dengan out of the box. Coba debat dengan dia, dia akan marah jika perdebatan itu bukan didasarkan pada data tapi dari hasil kebodohan karena percaya informasi bohong.
Gen Z loe pada dukung pemikiran filsuf yang bicara kebenaran? Atau memberikan dukungan para propaganda bohong melalui like, comment, subscribe dan share. Kalau yes, hati-hati masa depan loe suram.
[***]