Artikel ini ditulis: Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan
BEREDAR di media sosial data ekonomi membandingkan kondisi Sri Lanka dan Indonesia. Data tersebut membandingkan kondisi ekonomi kedua negara yang tidak sama, sebelum krisis versus sesudah krisis, sehingga terlihat sangat kontras.
Yang perlu dilihat adalah data dan faktor risiko sebelum krisis, apa yang menyebabkan Sri Lanka krisis, dan apakah Indonesia berpotensi masuk krisis.
Krisis seperti Sri Lanka (Pakistan, dan sebelumnya Argentina, Turki: 2018) semuanya masuk kategori Krisis Utang Luar Negeri, atau krisis Neraca Pembayaran, atau krisis Cadangan Devisa. Sehingga rasio utang pemerintah* terhadap PDB tidak relevan. Yang jauh lebih relevan antara lain (External) Debt Service Ratio.
INFLASI 2019
Sri Lanka: hanya 3,5 persen
Indonesia: sekitar 3 persen
DEBT SERVICE RATIO 2019
Sri Lanka: 31,7 persen
Indonesia: 39,4 persen (lebih buruk)
Pandemi membawa ekonomi kedua negara ke arah berlawanan, ekonomi Indonesia diselamatkan kenaikan harga komoditas, ekonomi Sri Lanka masuk krisis.
Harga komoditas melonjak sejak april 2020, menyelamatkan ekonomi Indonesia, menghancurkan ekonomi Sri Lanka.
DEBT SERVICE RATIO 2020
Sri Lanka: 39,3 persen (memburuk)
Indonesia: 36,7 persen (membaik)
Akibat kenaikan harga komoditas global, yang disebabkan oleh suku bunga global 0% dan Quantitive Easing:
INFLASI 2020 dan 2021
Sri Lanka: Melonjak
Indonesia: relatif stabil (apa benar?)
Ekspor 2020 turun.
Sri Lanka: ekspor turun tajam dari USD 19,4 miliar menjadi USD 13,0 miliar. Memicu krisis valuta.
Ekspor Indonesia 2020 juga turun, tapi ekspor turun lebih tajam, sehingga Neraca Perdagangan Indonesia 2020 mengalami surplus.
Kenaikan harga komoditas 2021 semakin tinggi, surplus neraca perdagangan Indonesia semakin membesar, mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan, mengurangi tekanan neraca pembayaran (balance of payment)
Pertanyaannya, apa yang akan terjadi pada semester II tahun ini dan 2023?
Apa yang akan terjadi kalau faktor keberuntungan Indonesia, yaitu lonjakan harga komoditas, berbalik menjadi anjlok, yang mana merupakan hal yang pasti akan terjadi?
Suku bunga global akan naik terus untuk memerangi inflasi global. Artinya Global akan memerangi lonjakan harga komoditas: Global berupaya keras untuk menurunkan harga komoditas.
Hal ini akan membawa kondisi ekonomi Indonesia kembali ke tahun 2019, dengan debt service ratio cukup besar: risiko krisis neraca pembayaran cukup besar.
Kalau harga komoditas turun terus dengan drastis, maka ekonomi Indonesia (awal 2023) dapat mengalami shock: masuk krisis, bukan hal yang tidak mungkin.
Ingat, rupiah sempat anjlok hampir Rp2,810 atau sekitar 20,4 persen hanya dalam satu bulan: 20 Februari 2020 hingga 23 Maret 2020.
Ekonomi Indonesia ketika itu diselamat ADB dengan pinjaman 3,5 miliar dolar AS.
Sedangkan bantuan kepada Sri Lanka ditunda-tunda terus.Sepertinya komunitas global memang sengaja mau menurunkan Rajapaksa.
Bagaimana Indonesia?
(***)