KedaiPena.Com – Akumulasi utang luar negeri atau external debt Indonesia sejak akhir kepemimpinan Presiden Soeharto terus mengalami kenaikan. Hanya di era kepemimpinan Presiden Habibie hingga Gus Dur, utang luar negeri mengalami penurunan.
Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti dari Lingkar Studi Pergerakan (LSP) Gede Sandra dalam seminar Magnificent Seven: Indonesian Economic Crises: Magnitudes, Path To Recovery, ditulis, Selasa (30/6/2020).
“Pada masa presiden Gus Dur (1999-2001), posisi utang luar negeri mengalami penurunan sebesar USD 17,6 miliar, yang disumbang penurunan posisi pemerintah sebesar USD 6,3 miliar dan penurunan posisi swasta-BUMN sebesar USD 11,3 miliar,” ujar Gede, begitu dirinya disapa.
Akan tetapi ada yang menarik saat ini, kata Gede, di era pemerintahan Jokowi, hanya dalam 5,5 tahun, sudah bisa mengalahkan 10 tahun pemerintahan SBY, dalam hal kenaikan posisi utang pemerintah.
“Artinya laju kenaikan posisi utang luar negeri pemerintah pada era Jokowi adalah yang tertinggi dari seluruh masa sebelumnya,” kata Gede.
Selanjutnya, Gede memaparkan terkait surat utang (bond) dan biayanya berdasarkan sumber perhitungan dari dokumen Outstanding SBN tahun 2002 hingga tahun 2020, yang diterbitkan oleh DJPPR Kementerian Keuangan.
Menurutnya, era pemerintahan Gus Dur lah yang paling sedikit menerbitkan surat utang, hanya Rp24,6 triliun dengan menghasilkan bunga (majemuk) Rp17,6 triliun (71 persen dari pokok).
“Sedangkan pemerintahan yang paling banyak menerbitkan surat utang adalah Jokowi, sebesar Rp 1.903,4 triliun dengan menghasilkan bunga Rp 1.842,1 triliun (96,8 persen dari pokok). Menariknya, apa yang dicapai Jokowi dalam 5,5 tahun sudah jauh melewati capaian era SBY selama 10 tahun,” ungkap Gede.
Gede menjelaskan, selama pemerintahan Jokowi, bunga atau imbal hasil (yield) surat utang Indonesia selalu
ketinggian yang mencapai 2-2,6%.
Hal tersebut, jika dibandingkan dari negara-negara tetangga yang peringkat kreditnya di bawah Indonesia. Terutama bila dibandingkan dengan Vietnam dan Filipina.
“Bila dirata-ratakan selama 5.5 tahun (2014-2020), yield surat utang 10 tahun Indonesia 7,5 persen, Vietnam 5,4 persen, dan Filipina 4,8 persen,” jelasnya.
Bahkan, kata Gede, berdasarkan perbandingan credit rating dengan Filipina dan Vietnam selama 5 tahun ternyata surat utang Indonesia berperingkat setara dengan Filipina atau bahkan lebih baik dari Vietnam.
“Artinya mungkin saja Indonesia mendapatkan bunga 2-2,6 persen lebih murah dari yang sekarang. Saya mencoba menghitung, berapakah biaya bunga yang dapat dihemat Indonesia bila seandainya selama pemerintahan Jokowi berhasil mendapatkan bunga 2-2,6 persen lebih murah. Ternyata hasilnya adalah, bila bunga (untuk surat utang rupiah) turun 2,3 persen (rata-rata) saja, Indonesia bisa mendapatkan selisih penghematan bayar bunga Rp330,7 triliun,” tandas Gede.
Laporan: Muhammad Lutfi