KedaiPena.Com – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serius menggugat ‘presidential threshold‘ nol persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat ini sudah dua gelombang gugatan yang dilakukan. Gelombang pertama dilakukan Senator Fachrul Razi dan Bustami Zainudin dengan kuasa hukum Refly Harun.
Kemudian ada juga gugatan dari Senator Fahira Idris, Edwin Pratama Putra dan Tamsil Linrung dengan kuasa hukum Ahmad Yani.
Ahmad Yani mengatakan, dia diminta untuk mendampingi DPD sebab isu PT nol persen adalah kepentingan seluruh rakyat.
“Gugatan ini kloter kedua. Sesungguhnya kloter pertama sudah ada kawan-kawan DPD yang mengajukan gugatan. Dan ini kloter kedua, nanti akan diikuti kloter 3, 4, 5 mungkin sampai kloter 6-8,” tegas dia dalam keterangannya, di Jakarta, ditulis Selasa (11/1/2022).
Gugatan ini, sambung dia, mencerminkan kehendak dari rakyat Indonesia. Karena DPD ini adalah representasi rakyat Indonesia melalui provinsi-provinsi.
“Bahkan legitimasinya lebih dibanding dengan kawan-kawan DPR melalui dapil mereka,” imbuhnya.
Sementara Senator Tamsil Linrung berujar, pihaknya mengajukan ‘judicial review’ terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 khususnya pada pasal 222 karena ingin menyajikan sistem pemilihan presiden dalam pemilu 2024 yang ideal.
“Hal ini dilakukan untuk melahirkan pemimpin yang diharapkan secara ideal bisa mewakili kami di DPD,” tegasnya.
Sebelumnya, pengamat pemilu dan demokrasi Titi Anggraini mengatakan, Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 membatasi alternatif pilihan capres-cawapres yang akan maju di Pemilu.
Titi menjelaskan, argumentasi tersebut berdasarkan kepada pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Dalam pasal 6 ayat 3 itu menyebutkan, pasangan capres-cawapres terpilih harus mendapatkan paling sedikit 50 persen plus 1 suara sah yang tersebar paling sedikit pada 50 persen provinsi dengan sebaran sekurang-kurangnya 20 persen di setiap provinsi itu.
“Sistem itulah yang disebut sebagai sistem pemilu dua putaran. Sistem inilah yang dimaksudkan untuk mewadahi keragaman pilihan capres-dan cawapres. Merujuk kepada dasar ini, maka tidak mungkin jika kita memberlakukan ambang batas pencapresan dengan perhitungan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah DPR pada pemilu sebelumnya,” ujar Titi.
Karena itu, kata dia, pihaknya berargumen jika keberadaan pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan maksud UUD 1945 yang menginginkan keberagaman pilihan (capres-cawapres). Sebab, pada pokoknya, dua ayat pada pasal 6 UUD 1945 menekankan bahwa pembentuk aturan itu sudah memahami keragaman politik Indonesia.
Sehingga, lanjut Titi, sistem pemilu untuk memilih capres dan cawapres di Indonesia, sebagaimana yang selama ini dianut dalam konstitusi, adalah pemilu dua putaran atau two run system. Di banyak negara lain di dunia, sistem semacam ini juga bertujuan mewadahi keberagaman capres dan cawapres.
“Yang dikehendaki oleh pembuat UUD 1945 itu bukanlah sebuah Pemilu dengan pilihan yang terbatas atau pilihan yang sedikit. Oleh karena itu, mereka menciptakan sistem pemilu presiden dua putaran sehingga pilihan dan keragaman politik Indonesia bisa diwadahi secara alamiah melalui sistem tersebut,” katanya.
Laporan: Muhammad Lutfi