KedaiPena.com – Organisasi nirlaba Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) menilai keputusan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Ristek dan Dikti yang bertekad akan segera mengesahkan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional (Kurnas) tidak tepat. BAJIK menilai Kurikulum Merdeka tidak layak menjadi kurikulum nasional dan harus dievaluasi secara total dan menyeluruh.
Direktur Eksekutif Bajik Dhitta Puti Sarasvati menilai Kurikulum Merdeka masih compang camping. Banyak kelemahan yang harus diperbaiki.
“Kurikulum Merdeka belum layak menjadi Kurikulum Resmi Nasional. Hal yang paling esensial yang harusnya ada dalam kurikulum resmi malah belum ada yakni kerangka kurikulumnya,” kata Puti pada awak media, Minggu (25/2/2024).
Ia menegaskan Kurikulum Resmi Nasional apapun harus berdasarkan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas. Filosofi pendidikan dan kerangka konseptual ini harus tertuang di dalam naskah akademik. Di Naskah Akademik juga perlu dijelaskan berbagai argumen-argumen lain mengenai dasar-dasar pemikiran terkait kurikulum merdeka.
“Sampai saat ini Kurikulum Merdeka belum ada Naskah Akademiknya. Tanpa adanya naskah akademik ini sulit untuk memahami apa yang menjadi dasar pemikiran dari Kurikulum Merdeka,” ujarnya.
Selanjutnya, kurikulum resmi biasanya terdiri atas beberapa komponen. Misalnya filosofi kurikulum (melingkupi tujuan kurikulum dan prinsip-prinsip dasar kurikulum) , kerangka kurikulum (secara keseluruhan), dan bidang studi. Setiap bidang studi harus ada tujuan (lintas kelas), kerangka bidang studi, tujuan pembelajaran umum (di dalam Kurikulum Merdeka disebut capaian pembelajaran) yang biasanya mencakup tujuan pembelajaran dalam 1 atau 2 tahun, dan tujuan pembelajaran instruksional, yang menjadi acuan dalam perancangan kegiatan harian.
“Ketika awal Kurikulum Merdeka diluncurkan bagian-bagian paling esesial yakni, filosofi, prinsip-prinsip dasar kurikulum, kerangka kurikulum belum dibuat. Karena itu, Kurikulum Merdeka harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum diresmikan menjadi kurikulum nasional,” ujarnya lagi.
Kurikulum Merdeka baru dalam tahap uji coba dan sebagai kurikulum operasional saja. Sebagai kurikulum, Kurikulum Merdeka belum lengkap. Kurikulum ini baru memiliki dokumen Capaian Pembelajaran (CP), buku teks, dan beberapa panduan seperti panduan pengembangan KOSP (Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan) , panduan Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan beberapa lainnya.
“Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi sebenarnya belum lengkap. Bukan berarti tidak bisa dipakai. Capaian Pembelajarannya bisa saja digunakan oleh guru dalam merancang pembelajaran. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pun bisa saja digunakan sebagai acuan dalam merancang projek. Tetapi secara dokumen kurikulum resmi, saya menganggap Kurikulum Merdeka belum selesai,” kata Puti lebih lanjut.
BAJIK, kata Puti, sudah membandingkan capaian pembelajaran (CP) Kurikulum Merdeka dengan beberapa tujuan pembelajaran umum dalam kurikulum lain. Menurutnya, CP yang ada bisa digunakan tapi masih perlu disempurnakan lagi agar lebih mudah dipahami oleh guru. Kerangka bidang studi per mata pelajaran ada yang sudah baik ada yang sepertinya masih perlu direvisi.
Di dalam kurikulum Merdeka disediakan Capaian Pembelajaran (CP) yang pada dasarnya sama dengan apa yang disebut dengan tujuan pembelajaran umum yaitu berupa tujuan pembelajaran yang perlu dicapai siswa dalam waktu dua tahun (setiap fase).
“Agak aneh mengapa Kurikulum Merdeka tidak menyediakan tujuan pembelajaran instruksional (di kurikulum Merdeka disebut Tujuan Pembelajaran). Di dalam Kurikulum Merdeka, guru harus mendefinisikan sendiri tujuan pembelajarannya (TP). Sebenarnya sah-sah saja begitu, dengan syarat semua guru Indonesia sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk menerjemahkan Capaian Pembelajaran. Faktanya, masih banyak guru yang kesulitan dalam hal ini,” ungkapnya.
Menurut kajian Bajik, masih ada pertanyaan apa alasan Kurikulum Merdeka tidak menyediakan Tujuan Pembelajaran Instruksional. Di beberapa kurikulum sejumlah negara, tujuan instruksional ini didefinisikan dengan jelas. Misalnya di dalam kurikulum Ontario, Australia, Singapura, dan Hongkong. Bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti guru tetapi sebagai acuan saja. Guru dapat menggunakannya untuk merancang asesmen dan kegiatan pembelajaran.
“Pada dasarnya guru professional punya hak untuk menginterpretasi kurikulum apapun, termasuk yang sudah menyediakan tujuan pembelajaran instruksional ini,” ungkapnya lagi.
Melihat kondisi Kurikulum Merdeka masih belum lengkap, Kemdikbud Ristek dan Dikti tidak memaksakan kurikulum operasional itu sebagai kurikulum nasional.
“Kalau hanya sekadar digunakan, Kurikulum Merdeka bisa saja digunakan. Namun sebagai kurikulum resmi nasional, Kurikulum Merdeka perlu banyak penyempurnaan. Saya mendesak Kurikulum Merdeka dievaluasi secara total, diperbaiki, dan bahkan apabila memungkinkan beberapa detil dalam kurikulum perlu dipetakan dan diredefinisikan kembali,” tegasnya.
Ditambahkan Puti, hal esensial lain yang juga perlu diingat bahwa pemerintah perlu serius dalam mempersiapkan sekolah dan semua guru agar siap memahami, menginterpretasi, dan mengkritisi kurikulum resmi apapun sehingga bisa menjadi dasar dalam merancang kurikulum operasionalnya sendiri sesuai konteks dan kebutuhan sekolah maupun kelasnya.
“Artinya guru perlu punya kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan kurikulum resmi apapun secara kritis. Bukankah hal ini yang juga dicita-citakan sejak adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),” pungkasnya.
Sementara itu pemerhati pendidikan Indra Charismiadi menyampaikan bahwa sudah terbukti kalau gonta ganti kurikulum tidak mencerdaskan kehidupan bangsa terbukti dengan skor PISA yang semakin lama semakin turun.
“Saya pernah sampaikan di Rapat Panja Kurikulum Komisi X DPR RI pandangan ilmiah tentang gonta ganti kurikulum ini. Videonyapun masih ada di YouTube dan viral karena ditonton lebih 2,4 juta pemirsa,” kata Indra singkat.
Laporan: Ranny Supusepa