Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SUKARNO yang solidarity maker dan Hatta yang administration maker ternyata juga suka saling sindir.
Sukarno menyebut Hatta pedantic atau suka pamer pengetahuan.
Sedangkan Hatta menyebut Sukarno, mephistopheles.
Mephistopheles adalah makhluk perantara yang suka menjual jiwa manusia. Tokoh legenda rakyat Jerman.
Suatu hari, tahun ‘48, dalam pengasingan di Prapat, Sumatera Utara, Sukarno dibentak Sjahrir karena bernyanyi di kamar mandi dengan suara keras.
Sjahrir yang suka menyendiri rupanya terganggu dengan dendang lagu One Day When We Were Young, yang dinyanyikan Sukarno.
Sehingga ia berteriak “Houd Je Mond!” (tutup mulutmu).
Meski saling sindir dan berseberangan dalam ideologi namun Hatta, Sukarno, Sjahrir, saling melengkapi, karena kesamaan cita-cita memerdekakan bangsa.
Para tokoh bangsa umumnya memelihara diri dengan integritas. Not corrupt. Tiada nyolong duit rakyat, and tak jual negara, seperti lelang pulau dan sebagainya.
Ali Sadikin yang KKO kalau bicara keras, dan suka “main tangan”. Kepada bawahan yang terkena damprat karena bersalah ia kemudian sering meminta maaf, tanpa menghambat karir mereka.
Setelah Soeharto lengser Bang Ali sering lebaran ke Cendana. Meski puluhan tahun dicekal dan hak politiknya diberangus.
Buya Hamka yang di era Orde Lama menderita karena masuk-keluar penjara tiada dapat menahan kesedihan tatkala bertakziah di Wisma Yasa, dan menyediakan diri untuk jadi imam salat jenazah Sukarno.
Itulah sekelumit contoh para tokoh bangsa yang meski berseberangan secara ideologi dan garis perjuangan tiada menampakkan dendam.
Perbedaan pendapat dan perbedaan jalan perjuangan yang mereka tempuh kala itu merupakan hal biasa, karena yang dipertentangkan adalah dialektika pemikiran.
Bukan kebencian pribadi, akibat ketidakmampuan berargumentasi secara obyektif, faktual dan berdasarkan data.
“Kalau penguasa sekarang pura-pura bijak, tidak bereaksi, tapi mengerahkan influenceRp dan buzzersRp dengan memakai anggaran, termasuk dari bandar, untuk ngegebukin tokoh-tokoh yang berbeda pendapat,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun Twitter-nya belum lama ini.
Menurutnya, cara seperti ini dikenal dengan istilah Nabok Nyilih Tangan, yaitu strategi meminjam tangan orang lain untuk menggebuk kalangan yang berbeda pendapat.
Menurut Rizal Ramli, Jokowi memiliki teknik yang berbeda dengan Soeharto dalam menyikapi pihak-pihak yang berseberangan.
Jokowi, lanjutnya, adalah sosok pendendam yang sifatnya pribadi, bukan karena sistem, apalagi ideologi.
Ia menjelaskan, dendam Soeharto bersifat ideologis, yaitu tidak suka kepada komunis. Sehingga komunis dihabisi.
“Dendam Jokowi itu pribadi sifatnya, bukan sistem. Kalau Soeharto ideologis. Dalam arti dia anti komunis, sikat, babat, penjarakan, tembak,” papar Rizal Ramli.
Yang kedua, lanjutnya, dendam Soeharto kepada lawan politiknya berdasarkan sistem. Soeharto sadar bahwa ia selama 32 tahun membangun sistem otoriter di Indonesia.
“Siapa nggak suka sistem otoriter, seperti misalnya dulu, mahasiswa, mau Indonesia demokratis, ya dibabat,” ujar Rizal Ramli lagi.
Nabok Nyilih Tangan dengan cara mengerahkan influenceRp dan para buzzersRp dungu, selain menunjukkan ketidakmampuan penguasa mengedepankan dialektika pemikiran, tidak sanggup berargumentasi dengan data yang faktual dan obyektif, esensinya adalah kelakuan cemen.
Cemen berarti childish, kekanak-kanakan, lemah, tidak jantan, dalam arti culas.
[***]