KedaiPena.Com--Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyoroti fenomena terpuruknya industri padat karya yang tengah terjadi di Indonesia. Menurutnya pelemahan industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini bukti nyata bahwa Indonesia benar-benar menuju deindustrialisasi.
“Dalam 10 tahun terakhir, industri padat karya semakin terpuruk, dihajar lemahnya permintaan pasar ekspor, dihempas persaingan yang semakin keras dari produk impor dan kini pasar domestik-nya digerus signifikan oleh impor ilegal,” ucap Yusuf Wibisono, Sabtu,(31/8/2024).
Yusuf menambahkan, industri tekstil dan pakaian jadi pada 2013 masih berkontribusi 1,42% terhadap PDB nasional namun kontribusinya hanya 1,11% terhadap PDB pada 2023. Demikian pula industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, pada 2011 masih berkontribusi hingga 0,30% terhadap PDB nasional, namun kontribusinya tinggal tersisa 0,25% terhadap PDB pada 2023.
Baca Juga:Mampukah Ekonomi Syariah Indonesia Bersaing dan Mendominasi Panggung Internasional?
“Kontribusi industri manufaktur mencapai 22,04% terhadap PDB pada 2010 namun kontribusinya jatuh menjadi 18,67% terhadap PDB pada 2023,” ujar Yusuf.
Yusuf berpendapat, turunnya kinerja industri padat karya banyak terdampak dari dua arah sekaligus yaitu jatuhnya pasar ekspor global dan tergerusnya pasar domestik. Resesi global yang dipicu kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi telah membuat masyarakat dunia lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi ketimbang sandang atau alas kaki.
Baca Juga: Menunggu Kebijakan Prabowo Soal Pengembangan Ekonomi Keuangan Syariah
Konflik di Timur Tengah juga telah mengganggu jalur perdagangan dunia dengan implikasi biaya pengiriman meningkat karena menghindari Terusan Suez.
“Ketika pasar ekspor melemah, industri padat karya tidak bisa menjadikan pasar domestik sebagai substitusi karena dibanjiri produk impor. Impor produk tekstil dan pakaian jadi adalah signifikan,” kata Yusuf.
Banjir impor produk tekstil dan juga sepatu saat ini, terutama dari China, merupakan kombinasi dari aksi dumping, lemahnya perlindungan terhadap industri domestik dan derasnya impor ilegal.
Next Policy mencatat Impor Tekstil mencapai US$ 1,0 miliar pada 2019, kemudian US$ 936 juta pada 2020, US$ 966 juta pada 2021, US$ 832 juta pada 2022 dan US$ 702 juta pada 2023.
Yusuf mengatakan bahwa meski kecenderungan impor TPT menurun, namun kondisi industri tekstil domestik semakin terpuruk dalam tahun-tahun terakhir, banyak perusahaan yang telah mematikan mesin hingga menutup pabrik serta melakukan rasionalisasi buruh dari merumahkan sementara hingga PHK massal.
“Impor ilegal kuat diduga menjadi penyebab fenomena ini. Berbeda dengan PHK pada 2020 yang sebagian besar dipicu oleh relokasi pabrik terutama ke Jawa Tengah, PHK dalam tahun-tahun terakhir ini banyak dipicu oleh jatuhnya produksi dan utilisasi pabrik karena pasar domestik dikuasai produk impor, termasuk impor ilegal,” ungkap Yusuf.
Yusuf menjabarkan bahwa buruknya pengawasan impor dan lemahnya penegakan hukum membuat peredaran barang impor illegal sangat marak, terutama dari China. Hal ini membuat proteksi terhadap industri domestik melalui hambatan tarif dan non tarif tidak efektif.
“Dengan menganalisis selisih antara data ekspor China ke Indonesia, yang diperoleh dari otoritas China, dengan data impor Indonesia dari China, yang diperoleh dari otoritas Indonesia, kami memperkirakan impor illegal untuk produk tekstil dan pakaian jadi (kode HS 61, 62 dan 63) dari China ke Indonesia dalam 6 tahun terakhir, antara Januari 2018 – Mei 2024, mencapai US$ 3,98 miliar,” ucap Yusuf.
Sebelum pandemi, antara Januari 2018 – Februari 2020, indikasi impor ilegal tekstil, pakaian jadi dan sejenisnya dari China ke Indonesia mencapai US$ 550 juta, atau US$ 21,3 juta per bulan. Di masa pandemi, antara Maret 2020 – Desember 2022, indikasi impor ilegal tekstil, pakaian jadi dan sejenisnya dari China ke Indonesia melonjak drastis, mencapai US$ 2,64 miliar, atau US$ 77,8 Juta per bulan.
Indikasi impor illegal tertinggi terjadi pada Januari 2022 yang mencapai US$ 196 juta, dimana saat itu ekspor China ke Indonesia tercatat US$ 226 juta sedangkan impor Indonesia dari China hanya tercatat US$ 30 juta. Pasca pandemi, indikasi impor ilegal dari China ke Indonesia ini cenderung menurun namun tetap signifikan, yaitu sepanjang periode Januari 2023 – Mei 2024 mencapai US$ 780 juta, atau US$ 45,9 juta per bulan.
Situasi serupa terjadi di industri padat karya lainnya, seperti industri alas kaki dan Sepatu, yang kini kian terpuruk. Hanya dalam setahun terakhir, antara April 2023 – April 2024, setidaknya dua pabrik sepatu besar dengan ribuan tenaga kerja harus menutup operasional-nya.
Ketika pasar ekspor produk alas kaki dan Sepatu melemah, pasar domestik dibanjiri impor. Impor produk alas kaki dan sepatu adalah signifikan dengan kecenderungan meningkat dalam enam tahun terakhir, mencapai US$ 747 juta pada 2018, US$ 873 juta pada 2019, kemudian US$ 617 juta pada 2020, US$ 732 juta pada 2021, US$ 1,0 miliar pada 2022 dan US$ 969 juta pada 2023.
“Dengan metode yang sama, kami memperkirakan impor illegal untuk produk alas kaki dan sepatu (kode HS 64) dari China ke Indonesia dalam 6 tahun terakhir, antara Januari 2018 – Mei 2024, mencapai US$ 2,15 miliar,” beber Yusuf.
Sebelum pandemi, antara Januari 2018 – Februari 2020, indikasi impor ilegal alas kaki dan sepatu dari China ke Indonesia mencapai US$ 128 juta, atau US$ 4,9 juta per bulan. Di masa pandemi, antara Maret 2020 – Februari 2023, indikasi impor ilegal alas kaki dan sepatu dari China ke Indonesia melonjak drastis, mencapai US$ 1,44 miliar, atau US$ 40,1 juta per bulan.
Indikasi impor illegal tertinggi terjadi pada Januari 2022 yang mencapai US$ 98,1 juta, dimana saat itu ekspor China ke Indonesia tercatat US$ 146,3 juta sedangkan impor Indonesia dari China hanya tercatat US$ 48,1 juta. Pasca pandemi, indikasi impor ilegal dari China ke Indonesia ini cenderung menurun namun tetap signifikan, yaitu sepanjang periode Maret 2023 – Mei 2024 mencapai US$ 574 juta, atau US$ 38,3 juta per bulan.
“Dengan kondisi industri padat karya domestik yang sudah dalam kondisi darurat, yang ditunjukkan oleh banyaknya pabrik yang tutup dan melakukan PHK massal, maka kita membutuhkan langkah jangka pendek yang efektif,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, Salah satu pilihan kebijakan terbaik disini adalah memberantas impor illegal secara serius, yaitu dengan memperkuat pengawasan di pelabuhan dan penegakan hukum yang tegas terhadap importir dan distributornya, bukan dengan razia barang impor ilegal di pasar dan pusat perbelanjaan yang merugikan para pedagang kecil.
“Kita membutuhkan tindakan tegas terhadap kejahatan kepabeanan dimana pelaku impor illegal selama ini hanya diberi hukuman ringan. Penegakan hukum yang tegas terhadap impor ilegal akan mengoptimalkan belanja produk dalam negeri, memberi ruang bagi industri untuk bersaing secara sehat di pasar domestik dan menjaga industri padat karya untuk terus beroperasi secara berkelanjutan,” tutup Yusuf.
Laporan: Tim Kedai Pena