Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
WAKTU dibuang ke Digul Bung Hatta menolak dikasih tunjangan sama Belanda.
Ia mengandalkan honor artikel yang ditulisnya untuk koran-koran di Tanah Jawa.
Hatta juga menyusun “Alam Pikiran Yunani”. Buku pemikiran para filosof Yunani Kuno.
Hatta yang bersumpah baru akan menikah setelah Indonesia merdeka kemudian menjadikan buku ini mas kawin tatkala menyunting Siti Rachmiati (Rachmi Hatta), November ‘45.
Dalam sambutannya Hatta menulis:
“Filsafat mengajarkan cinta akan kebenaran. Berguna untuk menerangkan pikiran dan penetapan hati, serta melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu…”
Salah satu ciri elit Indonesia angkatan Bung Hatta ialah mendisiplinkan diri dengan membaca dan menulis. Umumnya hidup dalam alam filsafat dan penghayatan terhadap sejarah.
Mereka Anti Kolonial tetapi tidak Anti Barat, dan mampu menjaga adat ketimuran.
Itulah sebabnya, merujuk pada perkataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, ekonom seperti Bung Hatta tentu bukanlah “ekonom tukang” yang hanya bicara angka-angka atau “ekonomi turun-naik” belaka, dengan tidak memahami faktor-faktor struktural seperti umumnya ekonom yang ada saat ini dengan contoh utama Menkeu Sri Mulyani.
Menurut Rizal Ramli, “ekonom tukang” muncul karena tidak memahami filsafat, sejarah ekonomi, dan perbandingan komparatif sistem ekonomi.
“Ekonom tukang” juga tidak ubahnya ekonom kolonial seperti Van Den Bosch yang bekerja menghisap rakyat karena beban utang Belanda yang menumpuk. Yang karena penindasannya dapat pujian sang Ratu, seperti Sri Mulyani yang juga senang dipuji asing ketimbang rakyat sendiri.
“Ekonom tukang” berciri ekonom kolonial seperti Sri Mulyani akan mempercepat kebangkrutan Indonesia, seiring dengan perpecahan yang sedang terjadi di tengah masyarakat dalam hari-hari belakangan ini.
[***]