Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Energi.
Banyak yang bilang climate change, transisi energi, net zero emission (NZE). Semua ini adalah agenda omong kosong, tidak akan dilaksanakan.
Sebab kalau energi fosil terutama minyak berhenti, maka dollar hancur. Kalau dolar hancur maka The Federal Reserve lumpuh, kalau AS tidak lagi bisa print uang kertas maka Amerika dan dunia lumpuh. Menakutkan.
Tapi di bagian lain untuk melanjutkan ekonomi fosil sekarang ini sudah tidak ada lagi yang mau membiayainya. Ekonomi fosil sudah dianggap old money, kotor, dosa, primitif, jadi harus ditinggalkan sama sekali.
Sebaliknya transisi menuju keberlanjutan dan energi bersih menghadirkan peluang pasar yang sangat besar, yang memerlukan investasi global sebesar $8 triliun hingga $11 triliun per tahun hingga tahun 2050.
Hal ini berarti transisi menuju keberlanjutan dan energi bersih menghadirkan peluang pasar yang sangat besar, yang memerlukan investasi global sebesar $8 triliun hingga $11 triliun per tahun hingga tahun 2050, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Apa yang hendak mereka lakukan terhadap dunia kotor sekarang ini, dunia yang ditopang uang kotor, dunia yang menghasilkan wabah dan penyakit?
Para investor atau pemilik uang baru hendak memperbaiki pembangkit listrik, transportasi, serta penggunaan lahan, lahan- perubahan pemanfaatan, dan kehutanan (LULUCF) adalah tiga sektor yang berada di garis depan dalam transformasi yang diperlukan dalam transisi energi ini.
Karena begitu banyaknya uang yang berseliweran untuk transisi energi, sementara uang untuk investasi fosil sudah tidak ada lagi, membuat pemerintah Indonesia sangat bersemangat.
Pemerintah juga telah menerapkan berbagai insentif peraturan dan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ramah lingkungan, dengan fokus pada mobilitas listrik, pasar karbon, dan energi terbarukan.
Pada bulan September 2022, Indonesia meningkatkan target Kontribusi Nasional (NDC), yang kini menargetkan pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 31,9 persen (naik dari 29,0 persen) dan pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 43,2 persen (naik dari 41,0 persen) dengan dukungan internasional.
Skenario biasa pada tahun 2030. Target ini mencakup pengurangan emisi dari LULUCF.
Selain itu yang lebih menarik adalah Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), yang dibentuk pada KTT Pemimpin G20 pada tahun 2022, semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk mewujudkan transisi yang adil di sektor ketenagalistrikan.
Melalui JETP, Indonesia bertujuan untuk mengurangi emisi karbon hingga 250 juta metrik ton per tahun untuk sektor listrik on-grid pada tahun 2030, sekaligus meningkatkan pangsa pembangkit energi terbarukan menjadi 44 persen.
Terakhir, kekayaan mineral penting seperti nikelyang penting untuk baterai kendaraan listrik (EV) bersama dengan potensi penyimpanan karbon dan solusi berbasis alam (NBS) yang dimiliki Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di sisi pasokan dalam pasar dekarbonisasi.
Mineral-mineral tersebut sumber daya alam dan ekosistem yang mendukung dapat membantu menciptakan peluang besar bagi bisnis di bidang energi terbarukan, produksi kendaraan listrik, dan praktik berkelanjutan.
Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi GRK sebesar 43,2 persen pada tahun 2030 (sekitar 31,9 persen tanpa syarat dan tambahan 11,3 persen bergantung pada dukungan internasional).
Negara ini memiliki potensi yang sangat baik untuk pertumbuhan berkelanjutan namun mencapai target pertumbuhan hijau dan pengurangan GRK ini memerlukan investasi yang besar, diperkirakan mencapai sekitar $150 miliar hingga $200 miliar per tahun hingga tahun 2030.
Oleh karena itu, melibatkan beragam pelaku keuangan dan menawarkan serangkaian instrumen keuangan ramah lingkungan sangat penting bagi transisi ramah lingkungan di Indonesia.
Mengikuti langkah global perbankkan dan sektor keuangan Indonesia juga ikut berbenah. Sebab kalau tidak bisa disuntik mati. Maka dirancanglah pembiayaan berkelanjutan dapat dilakukan dalam tiga bentuk utama: pinjaman tradisional dari bank, obligasi ke pasar domestik dan internasional, dan pembiayaan campuran dari sumber publik dan swasta.
Pinjaman dan obligasi dapat bersifat keberlanjutan, dimana tingkat suku bunga atau tingkat kupon berubah ketika tujuan keberlanjutan tercapai, atau berbasis proyek dimana proyek tersebut harus merupakan proyek ramah lingkungan yang memenuhi syarat.
Sementara di Asia, obligasi ramah lingkungan dan pinjaman terkait keberlanjutan merupakan mayoritas pembiayaan berkelanjutan yang diterbitkan.
Obligasi ramah lingkungan, sosial, dan keberlanjutan, yang biasanya diterbitkan oleh pemerintah, entitas sektor publik, atau organisasi supranasional, merupakan bagian terbesar dari pasar (lebih dari 50 persen), dan pinjaman terkait keberlanjutan menempati sebagian besar pasar lainnya.
Pembiayaan campuran memberikan proposisi nilai yang lebih unik karena disediakan oleh sekelompok pemberi pinjaman antara sektor publik dan lembaga keuangan pembangunan swasta (DFI), bank pembangunan multilateral (MDB), dan investor.
Hal ini dapat mencakup banyak kelas aset seperti hibah, ekuitas, utang, konsesi, pembebasan pajak, kekebalan terhadap investor, asuransi, dan jaminan.
Misalnya, JETP menggunakan mekanisme pembiayaan campuran yang terdiri dari gabungan pinjaman lunak, pinjaman berbasis pasar, hibah, jaminan, dan instrumen lainnya.
Nah bagaimana dengan APBN atau belanja negara Indonesia. Dari sisi utang, pinjaman, dan lain-lain, APBN Indonesia masih mengandalkan uang dari sumber kotor.
APBN sebagaimana juga bersumber dari penerimaan kegiatan kotor di dalam negeri, minyak, tambang batubara, sawit, penebangan hutan, dan lain sebagainya. Ada pertentangan kuat di sini antara rezim APBN dengan rezim perubahan iklim.
Rezim APBN masih dikuasai uang kotor, sementara lingkungan ekonomi Indonensia adalah climate change super power. Mengerikan pertempuran ini bisa membuat APBN dalam bahaya, APBN lumpuh karena bertentangan dengan hukum alam. Wallahualam.
[***]