KedaiPena.Com – Sejak 2013 lalu Gubernur Papua, Lukas Enembe, telah mengusulkan 17 poin sebagai ‘standing position’ Pemerintah Papua yang harus dibijaki Freeport dalam kerangka renegosiasi.
Ke-17 tuntutan itu antara lain, yakni porsi divestasi saham, pengurangan luas wilayah operasi, isu lingkungan hidup, royalti, pajak air permukaan, industri hilirisasi tambang di Papua, penguatan peran serta orang asli Papua dalam manajemen Freeport, pembenahan community development.
Selain itu, juga didorong pelibatan pengusaha Papua dalam operasi penambangan, penguatan kualitas SDM tenaga kerja orang asli Papua, dan akomodasi hasil-hasil pertanian (dalam arti luas) petani dan nelayan Papua dalam supply pangan Freeport, perpindahan kantor pusat Freeport ke Papua, dan peningkatan peran Bank Papua dalam mendukung operasi karyawan Freeport.
The Institute for Regional Institution and Networks (Irian) Institute menilai, 17 Tuntutan Pemda Papua adalah sesuatu yang wajar dalam keberlangsungan operasi Freeport dalam jangka panjang, termasuk tuntutan pajak air permukaan sekitar Rp 3,5 triliun yang ditunggak Freeport ke Pemda Papua.
“17 poin dari Pemda dapat dijadikan acuan di dalam proses re-negosiasi Kontrak Karya Freeport,” tegas Velix Wanggai, MPA, Direktur Riset The Irian Institute dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Rabu (8/3).
Sedangkan poin keempat, diperlukan jalan tengah dalam pola hubungan Freeport-masyarakat adat dan masyarakat Papua secara umum. Untuk diperlukan skema baru yang tepat yang berkelanjutan dan berkeadilan dalam formula bentuk ‘golden share’ kepada masyarakat adat pemilik ulayat dan sebaliknya, tidak hanya sekedar ‘charity fund’ dari Freeport. Karena itu, diperlukan penataan ulang pola-pola program community development yang lebih bersifat mandiri dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, Pemerintah perlu merancang pola penyertaaan saham yang memihak kepada masyarakat adat dalam skema ‘golden share’ kepada suku Amungme, Komoro, Moni, Dani, Duga, Damal, dan Mee, serta pola kelembagaan dalam mengelola dana ‘golden share’ itu. Tidak hanya itu, diperlukan skema bantuan keuangan Freeport kepada masyarakat Papua secara umum dalam konteks percepatan pembangunan wilayah adat Saireri, Ha’anim, La Pago, Me Pago dan Tabi. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan berbasis 5 adat yang telah dirancang dalam RPJMN tahun 2015-2019.
The Irian Institute juga menilai bahwa isu Freeport merupakan momentum bagi Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua untuk menata ulang skenario pembangunan Papua dan Papua Barat terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan minyak dan gas yang akan terus berkembang di Tanah Papua. Diperlukan formula yang berpihak bagi Papua guna akselerasi pembangunan dalam payung Otonomi Khusus, pelibatan masyarakat adat dan pengembangan spasial yang terpadu di Tanah Papua.
“Sebagaimana RPJMN 2015-2019 telah mendesain arah pengembangan wilayah Pulau Papua, maka diperlukan langkah nyata yang bersifat tematik, holistik, integratif dan sinkronisasi (THIS) dalam skenario pengembangan wilayah Papua tanpa memarginal orang asli Papua,” jelas dia.
Sementara itu, poin selanjutnya, dimana terlepas dari perdebatan payung hukum antara rezim kontrak karya dan rezim Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), para pihak perlu menyadari bahwa selama ini Freeport menjadi sumber utama, paling tidak, tumpuan tunggal investasi di Tanah Papua yang telah menggerakkan ekonomi Papua dengan segala pro-kontra.
Hal itu seperti tampak dari serapan tenaga kerja orang asli Papua dalam operasi Freeport. Munculnya Kabupaten Mimika lahir dari embrio kebijakan Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2) di tahun 1996 dengan Freeport sebagai tumpuan utama dari sosial ekonomi Mimika. Sebagai sentra ekonomi di Papua, Freeport dan Mimika menjadi ‘gula’ yang menarik arus migrasi ke kawasan Mimika.
Karena itu, perlu jalan tengah di dalam menyepakati substansi atau materi sebelum berbicara soal Kontrak Karya ataukah IUPK.
Laporan: Muhammad Hafidh