Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Nasdem tidak punya problem apapun untuk bergabung pemenang atau tetap di jalanan. Sebagai oposisi.
PKS juga begitu. Keluar koalisi, semudah masuknya.
Bagaimana dengan PKB?
Secara institusi, PKB akan sejalan dengan NU. Dari sanalah kolam suara penopang eksistensinya dibangun. Meninggalkan NU, PKB akan bernasib seperti DN Aidit, ketika meninggalkan Bung Karno pasca G30S/PKI.
Bagaimana nasib PKB pasca pemilu 2024. Bergabung dengan pemenang?.
Rasional-politisnya begitu. Oleh dua alasan.
Pertama, konsolidasi logistiknya berat ketika harus di jalanan/oposisi.
Kedua, menjauhi misi NU sebagai penjaga Pancasila dan NKRI. Misi itu memerlukan peran pengendalian dari dalam.
PKB tidak mungkin berlawanan dengan NU.
Problemnya, Cak Muhaimin terlanjur melarikan diri dari koalisi pemenang. Auranya “purik”. Melarikan diri tanpa pamit. Sebuah ekspresi kemarahan. Bergabung dengan AB.
Cak Imin juga tidak akur dengan PBNU. Ditambah perseteruan dengan keluarga Gus Dur sebelumnya. Problematiknya di situ.
“PKB tanpa Cak Imin”. Jika itu syaratnya agar PKB masuk dalam koalisi. Bagaimana langkah taktisnya?.
Apa mau Cak Imin mengalah begitu saja dan menyerah tidak memimpin PKB lagi?. Secara politik susah dinalar.
Atau akan dipaksa menyerah. Mengunggu “kasus durian”, diusut tuntas?.
Tentu PKB sudah memiliki jalan keluarnya. Itu domain rumah tangga mereka. Kita hanya bisa menduga-duga saja.
ARS, 20-20-2024
[***]