PEMERINTAH Indonesia baru-baru ini mengeluarkan pernyataan akan bertindak secara represif terhadap setiap orang yang menyebarkan berita bohong (hoax atau fake news) di internet. Rencana tersebut diungkapkan menyusul makin masifnya penyebaran berita bohong, khususnya yang menggunakan platform media sosial dan jejaring sosial.
Langkah ini serupa dengan respon pemerintah di beberapa negara terhadap maraknya penyebarluasan berita bohong, seperti di Jerman, Perancis, Myanmar, Italia, Brazil dan Australia.
Komentar Umum No. 34 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005, menyatakan bahwa kewajiban untuk menjamin segala bentuk pendapat warga negara tanpa campur tangan pihak ketiga (Pasal 19 ayat [1]), merupakan hal mutlak yang harus dilaksanakan bagi negara-negara pihak (Kovenan).
Pembatasan juga tidak diperbolehkan terhadap pendapat yang bersifat ofensif sekalipun, yang dapat saja menggunakan fakta-fakta palsu, sepanjang tidak dapat dibuktikan kerugian yang nyata bagi publik.
Pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat (Pasal 19 ayat [3] jo ayat [2]), dengan menggunakan pendekatan pemidanaan, baru bisa dilakukan apabila ekspresi atau pendapat yang diungkapkan dinilai memuat ancaman, propaganda kebencian, atau hasutan kekerasan yang nyata terhadap kelompok ras, agama, suku atau golongan tertentu (Pasal 20—larangan ujaran kebencian/hate speech).
Meskipun demikian, penyebarluasan berita bohong dalam level yang sangat masif tetap memiliki konsekuensi yang serius terhadap pemajuan dan penegakan HAM dalam masyarakat yang demokratis.
Di Amerika Serikat, pembatasan terhadap segala bentuk informasi di internet tidak diperbolehkan oleh undang-undang federal, namun tetap sah jika dilakukan berdasarkan keputusan perusahaanover-the-top (swaregulasi), seperti mesin pencari maupun penyedia layanan media sosial, dalam konteks penyebarluasan ujaran kebencian melalui mekanisme ketentuan layanan (term of service).
Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyaring (filtering), memblokir (blocking) atau menghambat akses masyarakat ke informasi atau akun media sosial tertentu. Sementara itu, Pemerintah Jerman berencana akan membebankan denda kepada pengelola situs yang dianggap gagal dalam mengantisipasi penyebaran berita bohong dalam domainnya.
Rencananya, Jerman akan menetapkan denda setidaknya maksimal 500.000 euro atau sebesar Rp 7 miliar lebih. Sanksi penjara maksimal 5 tahun rencananya juga akan diterapkan terhadap pelaku penyebaran berita bohong maupun kabar angin di internet. Rencana tersebut masih dalam proses pembahasan di parlemen Jerman.
Hingga saat ini, langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak berita bohong lebih banyak diinsiasi oleh penyedia layanan di internet. Facebook dan Google, misalnya, termasuk perusahaan yang aktif merespon penyebarluasan berita bohong dalam jaringannya. Pada bulan September tahun lalu, sejumlah over-the-top raksasa termasuk Amazon, Facebook, IBM, Microsoft, Google dan DeepMind membentuk Partnership on Artificial Intelligence to Benefit People and Society yang bertujuan untuk mengembangkan riset tentang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk menyokong etika, transparansi, akuntabilitas dan reliabilitas kegunaan artificial inntelegence di masyarakat, termasuk pula pencegahan berita bohong yang berpotensi mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap teknologi AI.
Mengantisipasi berita bohong dan dampak merusaknya di masyarakat tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pendekatan pemidanaan (represif). Jika hal ini menjadi sandaran utama penegakan hukum terhadap penyebarluasan berita bohong, maka Pemerintah Indonesia berpotensi melanggar komitmen penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang telah dimandatkan di dalam UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Standar Kovenan menegaskan bahwa sebuah pendapat tidak bisa dibatasi, apalagi melalui pemidanaan, hanya karena semata-mata bermuatan berita bohong. Pemerintah Indonesia semestinya menyadari bahwa berita bohong hanya dapat diselesaikan apabila melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam mendorong literasi media/digital serta infrastruktur hukum dan kebijakan yang akuntabel, reliabel dan transparan.
Memerhatikan sejumlah hal tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menekankan pada Pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi seluruh produk hukum dan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan teknologi internet, agar kompatibel atau selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dengan proses ini harapannya hukum yang ada dapat memberikan respon secara tepat terhadap setiap inovasi dan perkembangan teknologi internet.Â
Internet sendiri bukanlah suatu instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan, melainkan sarana yang melahirkan banyak inovasi dan kesempatan, oleh karenanya negara harus menyiapkan formulasi regulasi yang tepat untuk mengatur pemanfaatannya. Jangan sampai arsitektur hukum yang disiapkan justru terlalu membatasi atau bahkan melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang menjadi esensi dari demokrasi itu sendiri.
Selain mendorong perbaikan arsitektur hukum, ELSAM juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kebijakan yang terkait dengan peningkatan literasi media/digital di masyarakat, dengan melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait. Termasuk membangun kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengantisipasi penyebarluasan berita bohong di internet.
Oleh ‎Wahyudi Djafar, ‎Deputi Direktur PSDHAM ELSAM‎