Artikel ini dibuat oleh Tokoh Nasional Rizal Ramli. Pernah disampaikan pada Konvensi Anti Korupsi 2016 PP Muhammadiyah, 7 Juni 2016.
PADA zaman awal kemerdekaan banyak tokoh-tokoh kita dari dunia pers, atau kalangan intelektual yang kemudian masuk politik.
Pada dasarnya, saya ingin mengingatkan kita jangan terlalu pesimis. Dulu awal-awal kemerdekaan, korupsi di Indonesia sangat kecil karena pemimpinnya memiliki integritas mengingat mereka berjuang puluhan tahun untuk Indonesia yang merdeka.
Kedua, mereka mengorbankan diri. Disaat ada pekerjaan nyaman menjadi pegawai Belanda, mereka justru tidak mau. Melainkan, mereka menjadi nasionalis, pejuang atau menjadi tokoh Muhamadiyah.
Mereka lebih nation-oriented yaitu mengartikan Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang makmur dan yang lain tidak penting.
Mohon maaf, setelah Orde Baru sudah tidak ada lagi nation-oriented mindset, yang ada adalah jabatan, kekuasaan dan bagaimana caranya berkuasa lalu dilanjutkan dengan mengambil uang dan korupsi.
Seperti itu terus siklusnya, mengambil uang dan berkuasa, mengambil uang dan berkuasa lagi, begitu saja motifnya. Akan tetapi, motif untuk menjadikan Indonesia hebat dan membuat Indonesia maju sudah tidak ada lagi dalam sense of mission.
Sebaliknya, banyak pidato yang memiliki sense of mission tetapi tidak ada isinya.
Ada fase sebelum tahun 1950-an, dimana standar integritas pemimpin Indonesia soal corruption and integrity tidak kalah dengan negara-negara Eropa sekarang.
Malu hati mereka apabila menyalahgunakan kekuasaan dan malu hati kalau mereka korupsi. Tetapi setelah fase itu, kebanyakan yang masuk dunia politik, saya mohon maaf, adalah kalangan pedagang. Sebenarnya, pedagang itu adalah pekerjaan yang mulia, begitu juga dengan penguasa, namun kalau digabungkan akan menjadi sumber mala petaka bagi Indonesia.
Kita harus bangga di masa lalu kita adalah bangsa yang memiliki integritas tinggi dengan korupsi yang rendah, namun pada Orde Baru dengan kekuasaan yang tersentralisasi ada korupsi namun tidak pernah dibuka di media diakibatkan ketakutan dari media sendiri, begitu juga dengan DPR yang diam saja.
Akibatnya, terjadi centralized corruption, korupsi yang dilakukan oleh penguasa top saja bersama keluarga dan kroninya. Setelah Reformasi, terjadi lagi pergeseran dimana kekuasaan disentralisasi. Selain presiden, terdapat bupati yang memiliki otonomi yang kemudian menjadi raja-raja kecil sehingg banyak juga yang kemudian menyebabkan korupsinya semakin masif.
Pada zaman Orde Baru, terjadi korupsi sekitar 30% dari total anggaran pembangunan yang dikorupsi. Kemudian, terjadi kenaikan tindak korupsi ke 45%, ada tambahan 15%, karena korupsi dimulai dalam tahap perencanaan yaitu pada saat di DPR.
Anggaran mulai dibagi-bagi berjamaah juga, maka yang melawan juga harus berjamaan karena yang korupsi juga berjamaah. Sebetulnya, statistiknya membuat kita malu. Bupati yang ditangkap karena korupsi mungkin ratusan jumlahnya, begitu juga gubernur, dan semakin lama menteri juga semakin banyak.
Pokok persoalannya apa? Pertama, memang gaji rendah. Salah satu faktor adalah corruption by needs karena perlu untuk menyekolahkan anak misalnya. Kedua, ada pula corruption by greed, karena sudah lumayan namun tidak puas-puas.
Semakin lama, yang berdasarkan kebutuhan (by needs) ini kalah oleh yang berkorupsi karena kerakusan (greed) dari segi nilai karena semakin lama semakin banyak dari segi nilai (jumlah yang dikorupsi).
Harus ada reformasi dalam sistem politik kita. Faktanya, untuk menjadi anggota DPR, minimum memiliki Rp3-5 miliar. Jangan mimpi, banyak aktivis yang mau menjadi anggota DPR menjadi kalah oleh calon-calon yang ecek-ecek.
Mereka kalah oleh yang punya uang. Mereka yang memiliki uang Rp3-5 miliar, kalau bukan karena biayanya sendiri pasti ada cukong yang membayarkan dan nanti dia harus membayar kembali.
Sedikit sekali anggota DPR yang dari kalangan aktivis atau dari kalangan intelek, serta mereka dari kalangan yang memiliki karakter. Banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dari mana-mana dan tidak punya keterampilan akhirnya menjadi anggota DPR. Tentu ada yang tidak, tetapi mayoritas seperti itu.
Mereka kalau keluar pasti tidak bisa bekerja karena tidak punya keterampilan. Esensinya, kita harus rubah sistem politik kita terutama sistem pembiayaannya.
Saya empat tahun yang lalu menulis satu halaman artikel di Jakarta Post, judulnya Indonesian Criminal Democracy, tetapi redaksi Jakarta Post tidak berani dan akhirnya mengganti istilahnya. Saya dulu yang memperkenalkan istilah Demokrasi Prosedural pada 15 tahun yang lalu.
Artinya, demokrasi kita hanya sekedar prosedur dengan adanya pemilihan dan prosedur-prosedur lainnya, tetapi setelah itu apakah betul mereka berjuang untuk rakyat? tidak juga. Mereka berjuang untuk diri mereka sendiri dan mereka berjuang untuk kelompoknya, bukan untuk rakyat. Maka saya sebut itu adalah demokrasi prosedural. Akan tetapi, semakin lama makin menjadi demokrasi kriminal.
Artinya, kalau mau menjadi anggota DPR atau bupati harus menjanjikan macam-macam, termasuk dalam hal konversi hutan atau penebangan hutan misalnya, dan macam-macam janji lainnya. Begitu berkuasa, ketika mereka harus mengembalikam uangnya, akhirnya sistemnya membuat orang menjadi kriminal.
Dalam demokrasi kriminal itu tidak ada tempat untuk kelompok idealis dan kelompok intelektual. Kalaupun ada orang baik di dalam DPR, mereka tidak berani untuk melalukan apa-apa. Saya ada teman, waktu itu dia menjadi anggota DPR, akhirnya dia keluar karena tidak tahan.
Dia tidak mau untuk menerima amplop sehingga dia dimusuhi oleh yang lain. Kalau ada bocor sesuatu, pasti dia yang dituduh, maka dia memutuskan untuk mundur. Kalau ada orang baik dalam DPR kita, kebanyakan adalah orang yang kompromistis bukan orang yang berani memperjuangkan prinsip.
Hal-hal yang tadi saya sebutkan adalah analisa masalah, kemudian solusinya apa? Solusinya partai politik harus dibiayai oleh negara. Ikut sistem seperti di Eropa, contohnya di Perancis, Jerman atau bahkan Australia.
Saya yang pertama tanda tangan partai politik lalu diberi uang, waktu saya menjadi Menko 15 tahun yang lalu, waktu itu kasih Rp1 triliun dan dibagi-bagi dengan partai. Setelah itu, malah dikurangi, yang resmi dikurangi namun yang tidak resmi malah naik, lewat bagi-bagi berjamaah di DPR. Saya ingin kita melihat ke depan, bagaimana memperbaikinya? Kita harus setuju dulu bahwa partai politik harus dibiayai negara.
Namun, jangan orang politik yang berbicara karena kalau orang politik yang berbicara maka rakyat tidak percaya, “lo aja sekarang udah nilep terus, mau minta duit lagi!” harus dari kalangan universitas atau intelektual yang berkata bahwa partai politik dibiayai negara.
Hitungan saya, kemungkinan satu tahun membutuhkan Rp15 triliun untuk membiayai operasi sehari-hari, kaderisasi, dan calon-calon yang tidak punya uang. Jadi, source of recruitment bukan lagi dari pedagang karena kalau pedagang akan dia dagangkan lagi kekuasaannya.
Dengan standar etik kita yang belum kuat tidak bisa seperti itu, kalau di luar negeri biasa pedagang menjadi senator atau kongres namun mereka berhenti dari bisnisnya. Mereka tidak boleh mengambil keputusan yang terkait dengan sektor yang diawasi.
Dengan sistem demikian, ada tempat bagi anak-anak muda yang idealis menjadi anggota DPR, bupati atau gubernur karena tidak selalu dari yang punya uang yang maju. Saya juga ingin mengingatkan anak-anak muda, politik uang hanya bisa dikalahkan dengan uang yang lebih besar, bisa dikalahkan lagi dengan uang yang super besar, tetapi lebih akan bisa dikalahkan lagi dengan militansi dan keberpihakan dengan rakyat.
Kalau kita militan dan berpihak dengan rakyat akan kalah mereka yang bermodalkan uang saja. Jangan aktivis menjadi cengeng, misalnya mau apa butuh uang dan butuh uang. Buat dulu sesuatu maka uang akan datang dengan sendirinya.
Bila kita ingin memperbaiki politik dan korupsi di Indonesia, kita harus membiayai partai politik, resmi Rp15 triliun dibagi untuk beberapa partai dengan diaudit oleh lembaga audit. Maka siapa yang nyolong uang negara dapat dihukum juga karena itu adalah uang negara. Namun, negara tidak boleh campur tangan soal kebijakan partai dan orientasi dari partai tersebut.
Hanya dengan cara ini, kita dapat memperbaharui atau melakukan renaissance terhadap partai politik. Kalau tidak, bohong, saya tidak percaya! Ada yang mengatakan untuk ikut kongres partai ini saja atau itu saja. Ada partai yang kemarin memilih ketua, saya tidak tahu itu partai apa.
Yang beredar uangnya dari mana? Tetapi nanti kalau saya omongkan akan ramai lagi. Politik uang sudah ada di mana-mana dalam sistem politik di Indonesia dan itu yang harus kita berantas. Kalau partai politik yang bersih, memiliki karakter, integritas dan ideologi maka dia akan memperjuangkan kepentingan rakyat. akan tetapi, bohong kalau partai politik mengatakan berjuang bersama rakyat padahal politik uang masih sangat dominan.
[***]