Artikel ini ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
Ada pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya menjelang pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada awal Oktober 2024 yang akan datang.
Pertanyaannya, bagaimana kita mengatasi keadaan jika ternyata yang mendaftar dan memenuhi syarat ternyata hanya 1 pasangan saja. Bagaimana cara mengatasinya?
Keberadaan hanya 1 pasangan ini bisa terjadi karena memang hanya ada 1 pasang yang memenuhi syarat, atau juga karena diboikot oleh calon pasangan lain. Pertanyaannya: Bisakah Pilpres dilaksanakan dengan melawan kotak kosong seperti dalam Pilkada?
Saya katakan, Pilpres itu jangan dibuat lelucon atau dagelan karena Pilpres itu sangat menentukan perjalanan bangsa dan negara kita ke depan.
Putusan MK yang membenarkan Pilkada satu pasangan lawan kotak kosong itu, mutatis mutandis diberlakukan pada Pilpres.
Kotak kosong itu sendiri bukan subyek hukum yang bisa dipilih dalam pemilihan apapun. Kotak kosong itu tidak pernah mendaftar sebagai calon dalam Pilpres. Kalau kotak kosong itu menang, apakah kotak itu bisa dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden?
Kerumitan pelaksanaan Pilpres yang seandainya hanya diikuti oleh satu pasangan itu, berawal dari ketidakjelasan pengaturan pemilihan Presiden di dalam UUD 45 pasca amandemen.
Entah bagaimana riwayatnya, Pasal 6A ayat (3) UUD 45 mensyaratkan pasangan calon Presiden sedikitnya 3 pasangan. Pasangan akan dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% yang tersebar di lebih dari 50% provinsi yang ada di negara kita.
Jika syarat itu tidak tercapai, maka dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua masuk ke pilpres putaran kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memenuhi syarat memperoleh suara minimal 20% pada lebih dari 50% dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dalam hal sejak awal hanya ada 2 pasangan, maka dua pasangan tersebut dianggap langsung memasuki Pilpres putaran kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhitungkan jumlah suara minimal 20% di lebih dari 50% dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Bagaimana kalau sekiranya sejak awal, hanya ada 1 pasangan calon Presiden? UUD 45 tidak mengatur hal ini. Berarti di sini ada kevakuman pengaturan di dalam UUD 45.
Apakah kevakuman pengaturan tersebut dapat diatasi dengan undang-undang, dan jika terjadi “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” misalnya akan mengganggu jadwal pelaksanaan Pilpres yang akan berpengaruh pada berakhirnya masa jabatan Presiden dan Waki Presiden yang sedang menjabat karena akan melampaui waktu 5 (lima) tahun, dapatkah Presiden mengeluarkan Perpu, dengan alasan adanya “kegentingan yang memaksa”?
Saya berpendapat kevakuman pengaturan konstitusi seperti itu tidak dapat diisi dengan undang-undang atau Perpu, jika terjadi kegentingan yang memaksa.
Sebab, pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan Presiden yang diserahkan oleh UUD 45 kepada undang-undang hanyalah mengenai “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden” saja, bukan mengatur substansi bagaimana jika terjadi dalam kenyataan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendaftar dan memenuhi syarat ternyata hanya satu pasangan saja.
Karena kevakuman pengaturan dalam hal hanya ada satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah materi pengaturan konstitusi, bukan pengaturan undang-undang, maka cara mengatasi kevakuman itu hanya ada tiga kemungkinan.
Pertama adalah amandemen konstitusi. Kedua adalah MPR mengeluarkan Ketetapan yang berisi pengaturan lebih lanjut terhadap substansi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Ketetapan MPR adalah “grundgezets” yang berisi aturan dasar penyelenggaraan negara yang berada di bawah undang-undang dasar tetapi di atas undang-undang.
Jalan ketiga adalah meciptakan konvensi ketatanegaraan. Jalan ketiga ini agak sulit ditempuh karena jika ini dilaksakan dalam Pilpres 2024, konvensi itu masih dalam bentuk coba-coba yang belum tentu akan diterima sebagai konvensi ketatanegaraan.
Masalah mendasar yang kita hadapi sekarang ini mengapa begitu sulit memunculkan pasangan calon Presiden, sehingga terpaku hanya pada adanya tiga pasangan yang potensial muncul menjadi capres dan cawapres (katakanlah pasangan Ganjar, Prabowo dan Anies Baswedan), hal itu disebabkan oleh adanya “presidential treshhold” atau ambang batas pencalonan Presiden yang oleh parpol yang harus mencapai minimal 20 persen kursi DPR itu.
Kalau sekiranya nanti sampai awal Oktober, ternyata hanya ada 1 (satu), pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan hal itu dianggap menimbulkan kegentingan yang memaksa, maka Presiden dapat mengatasinya dengan menerbitkan Perpu.
Tetapi bukan Perpu yang mengatur bagaimana melaksanakan Pilpres yang hanya ada 1 pasangan calon, melainkan menerbitkan Perpu yang membatalkan presidential threshold 20 persen itu menjadi 0 persen.
Langkah Presiden menerbitkan Perlu menghapuskan presidential threshold itu akan merupakan langkan revolusioner untuk menegakkan supremasi konstitusi, karena UUD 45 tegas menyatakan bahwa yang berhak mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden itu adalah partai politik atay gabungan partai politik peserta Pemilu.
Pencalonan itu dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6A ayat 2 UUD 45). UUD 45 tidak sepatah-katapun mengatur atau memerintahkan undang-undang membuat presidential threshold. Keberadaan “presidential threshold” hanyalah permainan politik pat gulipat oligargi politik untuk mempertahankan kekuasaan dan memberangus demokrasi.
Mahkamah Konstitusi selama ini tidak pernah mau membatalkan keberadaan “presidential threshold” dengan alasan hal tersebut adalah “open legal policy” pembentuk undang-undang yang tidak dapat diintervensi oleh MK.
Dengan dihapuskannya presidential threshold, saya berkeyakinan, dalam waktu 1 minggu akan muncul beberapa pasangan calon Presiden yang dicalonkan baik oleh 1 partai maupun gabungan diantara 17 partai peserta Pemilu 2024 yang sudah disahkan oleh KPU.
[***]