PEMERINTAH Indonesia akhirnya mewujudkan rencananya membentuk badan khusus keamanan dunia maya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 23 Mei 2017. Lembaga baru ini dimaksudkan untuk menggantikan fungsi, tugas dan kewenangan yang sebelumnya diemban oleh Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Direktorat Keamanan Informasi dan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan keamanan (dunia maya) nasional. Keberadaan BSSN memang tidak terlepas dari kecenderungan yang dipraktikkan negera-negara di dunia yang memiliki badan khusus siber (cyber) untuk menangkal potensi kejahatan yang memanfaatkan jaringan dunia maya (online).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan LBH Pers menilai, pada satu sisi pembentukan BSSN memang dibutuhkan keberadaannya, dalam upaya melakukan tindakan preventif (deteksi, perlindungan, pencegahan) dan kuratif (respon, pemulihan, rehabilitasi), untuk memastikan adanya suatu sistem yang mampu menjamin keamanan dan kenyamanan pengguna (internet) sekaligus. Namun, sayangnya proses pembahasan Perpres BSSN yang dilakukan secara tertutup, dan minim partisipasi publik, menyebabkan materinya kurang mengakomodasi kepentingan masyarakat sipil. Bahkan dalam rumusan Perpres-nya sama sekali tidak diberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil, untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan aktivitas dunia maya.
Dengan kewenangan yang begitu besar, komposisi pemangku kepentingan di dalam BSSN nampak hanya diisi oleh pemerintah, TNI dan Polri (Pasal 48 ayat (1)). Komposisi ini dikhawatirkan justru akan mengarahkan BSSN pada pola kerja instansi yang tertutup sebagaimana dipraktikkan selama ini oleh Lemsaneg. Mustinya, terkait dengan pemanfaatan teknologi internet, termasuk di dalamnya kebijakan dan operasional yang terkait dengan pengamanan insfrastruktur penting informasi (critical infrastructure of information), dikelola secara multipihak. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk akademsi, sektor bisnis, dan masyarakat sipil. Belum lagi kosongnya mekanisme pengawasan eksternal dalam pelaksanaan tugas lembaga ini, yang semata-mata hanya ditumpukan pada prosedur pengawasan internal.
Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa fungsi, tugas dan kewenangan BSSN tidak bisa terlepas dari komitmen pemerintah untuk memajukan, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia, sebagaimana dimandatkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, maupun UUD 1945. Oleh karena itu, akuntabilitas dan transparansi menjadi fundamen utama dalam kerja-kerja pemerintahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi (64/211, 68/167, dan 32/13) yang pada intinya mendorong agar negara-negara di dunia mengintegrasikan segala aspek kebijakan dunia mayanya dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM di dunia maya. Hak-hak yang dilindungi ketika offline bagaimanapun harus memperoleh perlindungan yang sama ketika online.
Pemerintah Indonesia juga harus memahami bahwa implementasi kerja BSSN juga sangat terkait erta dengan pelaksanaan hak atas privasi (Pasal 17 ICCPR) dan hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19 ICCPR). Oleh karena itu, setiap langkah yang diinisiasi oleh pemerintah melalui BSSN, khususnya yang terkait dengan tindakan pembatasan, harus sepenuhnya mempertimbangkan aspek kebutuhan yang mendesak (necessity) dan aspek proporsi tindakan (proportionality) terhadap tujuan yang hendak dicapai. Pemerintah juga harus memikirkan untuk mengambil langkah-langkah penting lainnya guna memastikan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia di internet tetap terjamin, termasuk menyediakan mekanisme pengaduan, pemulihan, dan rehabilitasi jika hak-hak tersebut dilanggar.
Oleh karena itu, ELSAM dan LBH Pers mendesak pemerintah untuk: Pertama, perlunya menyiapkan kebijakan pendukung dalam operasionalisasi BSSN, guna menjamin terintegrasinya prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas lembaga ini. Termasuk di dalamnya dalam perumusan kebijakan teknis, seperti penutupan akses, monitoring internet, juga pengaduan dan pemulihan bagi warga negara yang hak-haknya dilanggar oleh kerja-kerja BSSN; Kedua, dalam operasionalisasinya juga perlu dibuka ruang partisipasi masyarakat sipil, akademisi, sektor bisnis, dan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan teknologi internet; Ketiga, memastikan bekerjanya mekanisme pengawasan internal, juga membuka peluang bagi pengawasan eksternal, untuk memastikan akuntabilitas lembaga ini.
Bahkan, lembaga ini semestinya secara berkala mengeluarkan laporan-laporan agregat atas pelaksanaan tugas dan penggunaan wewenangnya, khususnya yang terkait dengan monitoring pengguna; Keempat, dalam penataan organisasinya, harus dipastikan tidak adanya overlapping dalam pelaksanaan tugas lembaga ini, dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga aspek koordinasi juga perlu diperkuat, sehingga dapat meminimalisir pelanggaran yang ditimbulkan dari pelaksanaan tugasnya; Kelima, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga ini, jangan sampai upaya intervensi dengan tujuan pengamanan justru menghambat produktivitas dan kemajuan dalam penggunaan internet, akibat pengurangan dan pelambatan akses. Akan tetapi harus mampu menjembatani antara kebutuhan fungsionalitas dunia maya dengan persyaratan keamanan dalam penggunaannya.
Oleh Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset ELSAM