KedaiPena.Com – Kebangkitan ekonomi Cina yang dimulai pada akhir 1970-an di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Buahnya mulai dipetik di era 2000an.
Upah tenaga kerja di Cina mengalami kenaikan dari rata-rata 150 dolar AS pada 1990 menjadi 8.900 dolar AS pada 2015, dan kini mencapai 13.500 dolar AS.
Hal itu dikatakan ekonom senior DR. Rizal Ramli dalam artikelnya yang diterbitkan media Singapura, Business Times.
Di era 1990-an Cina menjadi “pabrik dunia: dan menyumbangkan sepertiga barang-barang manufaktur dunia.
“Sementara dalam tahun terakhir manufaktur padat karya Cina melakukan eksodus ke negara-negara dengan upah buruh yang masih rendah seperti Sri Lanka, Bangladesh, dan Vietnam,” ujar dia, ditulis Sabtu (2/5/2020).
Pada perkembangan selanjutnya, Cina terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat yang menetapkan bea impor tinggi untuk produk-produk Cina yang memasuki pasar AS.
Perang dagang ini di sisi lain menciptakan keuntungan bagi sejumlah negara yang mampu memanfaatkan, seperti Bangladesh, Argentina, Malaysia, Vietnam, juga Korea Selatan.
Namun begitu, sampai saat ini Cina masih menjadi salah satu kekuatan utama perdagangan dunia.
“Negara ini tetap menjadi eksportir terbesar dunia, dengan nilai ekspor hampir mencapai 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2019. Bagi banyak negara di dunia, mitra dagang ekspor dan impor utama mereka adalah Cina,” sambung mantan Menko Perekonomian dan Menko Maritim ini.
Dia juga menambahkan, pandemi Covid-19 telah memperlihatkan betapa ekonomi dunia sangat tergantung pada ekonomi Cina, baik dalam pasokan komputer, microchip, komponen otomotif, peralatan medis, dan banyak lagi.
Di tengah-tengah gangguan rantai pasokan akibat pandemi ini, para pemimpin menyadari betapa seharusnya mereka tidak tergantung kepada Cina.
Menurut Rizal, ada banyak alasan untuk mulai mengubah produk-produk padat karya, seperti tekstil, dan menggantinya dengan produksi barang-barang yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti peralatan medis.
“Bukan hanya blok Barat, tetapi seluruh Indo-Pasifik harus memikirkan bagaimana mereka dapat menjadi kurang tergantung pada Cina. sehingga tidak rentan terhadap guncangan di masa depan,” ujar Rizal.
Ia mengutip pepatah klasik yang mengatakan, “Jangan meletakkan semua telur dalam satu keranjang”. Menurutnya pepatah klasik ini sangat relevan dalam menata perekonomian di saat krisis finansial seperti sekarang.
Pertanyaan yang paling menarik untuk saat ini adalah, negara mana yang diuntungkan dan dapat menjadi kekuatan ekonomi baru jika benar-benar menghilangkan ketergantungan dari Cina?
“Vietnam, India dan Meksiko memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi yang kuat. Mengingat ukuran mereka, sumber daya manusia yang banyak dan upah tenaga kerja. Mereka menjadi tujuan pilihan investasi langsung asing dunia pasca-pandemi,” ujar Rizal.
Rizal Ramli menguraikan bahwa virus Corona baru atau Covid-19 yang menyebar dari Wuhan, Cina, diperkirakan akan mengubah lanskap politik di masa depan. Pertanyaannya adalah bagaimana rupa perubahan yang akan terjadi itu, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Ia pun membandingkan pandemi Covid-19 dengan pandemi Flu Spanyol di tahun 1918. Ketika itu juga banyak yang memperkirakan dunia akan berubah setelah pandemi Flu Spanyol.
Namun, sambung Rizal, Flu Spanyol yang menewaskan lebih dari 50 juta jiwa di seluruh dunia ternyata memiliki dampak kecil terhadap dunia politik.
Pandemi akan mempercepat tren tertentu. Dalam konteks Covid-19, salah satu yang penting pasca pandemi adalah pemisahan antara ekonomi dunia dengan Cina.
Laporan: Muhammad Lutfi