KedaiPena.Com – Fungsi Pemerintah Indonesia sebagai Presidensi G20 2022 ternyata tak mampu menyasar akar permasalahan dari emisi gas rumah kaca. Pemahaman akan transisi energi hanya diproyeksikan pada mengalihkan energi fosil ke energi terbarukan.
Ketua Umum Bike to Work (B2W) Indonesia Fahmi Saimima menyatakan pemerintah tak bisa menggali lebih dalam pada akar permasalahan lingkungan dalam kaitannya dengan energi.
“Presidensi G20 2022 tidak menyentuh hal-hal yang paling prinsipil dari harapan kita semua umat manusia di seluruh dunia,” kata Fahmi dalam webinar dan launching buku HUT ke 6 Kedai Pena dengan tema Konservasi, Pariwisata dan Pemberdayaan Masyarakat di Tengah Presidensi G20, Kamis,(10/3/2022).
Ia menyebutkan pemahaman tentang transisi energi melulu terpaku pada konsep jadi pembaruan energi berbahan bakar fosil ke energi terbarukan, seperti listrik dan matahari.
Padahal tanpa disadari, ada alternatif lain yang jauh lebih hemat, murah, dan mengurangi polusi udara yaitu dengan bersepeda.
“Sepeda itu menjadi bagian yang murah, yang gampang, sudah dilakukan hampir satu abad lebih, dan menjadi energi yang memang bisa di lakukan siapa pun,” ujarnya.
Cycling diplomacy adalah program Bike to Work (BTW) Indonesia, menjadikan sepeda alat diplomasi bagi semua ruang lingkup pariwisata, konservasi, diplomasi dan juga kependidikan.
“Kami berserta teman-teman yang bergerak di dunia advokasi maupun kampanye di dunia sepeda untuk kembali mengingatkan kepada semua pihak, bahwa sepeda bukan lagi sekedar besi yang bisa dijalankan tapi sudah bisa menjadi pesan-pesan berbagai tingkat kebutuhan khususnya tematik G20 2022 tentang pembaruan energi,” papar Fahmi.
Dampak nyata dari bersepeda ialah mengurangi persentase gas buang atau emisi, bukan berkutat dengan pembaruan energi yang memiliki potensi akan merusak keadaan lingkungan dan merusak alam.
“Kedepannya bersepeda akan beriringan langsung dengan teknologi bagaimana dalam melakukan kegiatan bersepeda itu bisa diukur dengan menggunakan aplikasi yang dapat menghitung tingkat polusi udara. Aplikasi tersebut bisa menghitung ketika kita bersepeda dan itu memberi kontribusi kepada lingkungan,” ungkapnya.
Dalam riset Bappenas, pajak kendaraan mobil se-Jabodetabek jika dikumpulkan dalam satu tahun itu hanya menghasilkan sekitar satu sampai Rp2 triliun. Angka ini tak sebanding dengan angka kompensasi dari macet, tingkat stress masyarakat, kasus kecelakaan, polusi udara dan sebagainya, yang mencapai Rp5 triliun.
“Artinya tekor sebenarnya. Cuma tetap saja yang diberikan fasilitas adalah yang bayar pajak. Ini paradigma yang salah. Jadi kalau mau kalkulatif, ya harus fair. Ayo sama-sama menghitung,” pungkasnya.
Laporan: Hera Irawan