MEMANG kalau tidak gaduh bukan Orang Indonesia namanya. Akhir-akhir ini sepertinya setiap orang menganggap dirinya ahli plastik ramah lingkungan, untuk mengatasi problema sampah plastik yang memang membludak dan serius.
Tetapi karena seringkali ego, emosi, dan periuk nasi masing-masing yang dipentingkan, sehingga sulit melihat persoalan sesungguhnya apalagi mencari solusi yang tepat guna. Mendapatkan informasi yang benar dan bukan hoax saja susah. Masing-masing merasa kata “ramah lingkungan†adalah miliknya sendiri.
Contohnya ada gerakan tertentu yang sangat anti kantong plastik apapun juga, jadi mereka mendorong tas pakai ulang dan klaim bahwa itulah “Kantong Ramah Lingkungan†sesungguhnya.
Sah-sah saja, tetapi pasti mereka tidak tahu bahwa laporan terbaru dari Denmark sudah meneliti secara holistik menggunakan pendekatan Life Cycle Analysis (LCA), didapati bahwa tas plastik tipis LDPE (kresek pada umumnya) yang kalau dipakai lalu dipakai untuk pelapis tong sampah kitalah, yang paling hemat energi dan ramah lingkungan.
Jadi siapa yang benar? Ini Denmark loh dengan pendekatan riset yang canggih dan holistik. Memang tas pakai ulang bagus karena tidak menjadi sampah segera, tetapi biaya pembuatannya dan energi yang dibutuhkan sangat tinggi, sehingga berkontribusi terhadap Climate Change!
Di laporan tersebut dibilang bahwa conventional cotton bags perlu dipakai minimal 7100 kali agar setara dengan kantong plastik biasa dari sisi indikator-indikator ramah lingkungan yang ada. Siapa yang bisa pakai sebanyak itu? Sudah keburu kotor, sobek, dan tidak hiegienis kali ya!
Hal lain yang seringkali tersandung hoax adalah tentang kantong “ramah lingkungan†mudah terurai oxo-biodegradable. Karena banyak didapati di pasaran, seringkali menjadi objek kritis dan iri atau apapun juga. Masih saja lagu lama dibilang bahwa teknologi ini menyebabkan terjadinya mikroplastik.
Padahal sudah melalui proses SNI yang sangat ketat, uji sana sini dengan standar internasional, dan melalui penjelasan logis yang sederhana. Tetapi saja yang nyinyir banyak, dan ironisnya semuanya bukan ahli plastik. Membedakan antara fragmentasi (fisik) plastik dan degradasi (terurai secara kimia dan molekul) saja tidak bisa.
Sebenarnya teknologi oxo ini sangat sederhana. Plastik sebenarnya adalah organic compound, karena berasal dari minyak dan makhluk hidup, tetapi dengan rantai karbon yang panjang. Nah, karena organik, plastik sebenarnya secara alamiah juga akan terurai, baik secara fisik (menjadi mikroplastik lebih kecil) dan juga kimia-molekul (dimana rantai karbonnya jg menjadi pendek sehingga bisa dimakan mikroba).
Tetapi proses tersebut sangat panjang karena rantai panjang tersebut, sampai 500-1000 tahun. Nah, teknologi oxo ini sebenarnya sederhana saja, yaitu dengan kekuatan oksigen, sinar matahari, panas, proses mekanis lainnya, semuanya tersedia dengan banyak di alam semesta kita, mempercepat penuaan plastik ini, pemutusan rantai-rantai ini sehingga plastik teroksidasi dan biodegradasi menjadi CO2, H20 dan biomassa yang aman. Silakan cek buku referensi Introduction to Bioplastics Engineering, bisa beli di google juga, hal 27-28.
Ini sama sebenarnya dengan kita manusia juga kan terbiodegradasi, dan kalau mau awet muda kita pakai krim, minum jus antioxidant kan? Nah, oxo-biodegradable ini adalah pro-oxidant, mempercepat penuaan dan penguraian plastik, bukan fragmentasi fisik jadi mikroplastik.
Sudah ada ahli-ahlinya, tes-tesnya, dan semuanya transparan. Masih juga didera hoax bahwa oxo-biodegradable membuat mikroplastik-lah, dan sebagainya. Mungkin ada kepentingan bisnis juga kali ya. Banyak juga yang bilang di Eropa oxo tidak disukai. Ya sederhana karena Eropa 4 musim, matahari, panas, kelembaban tidak tersedia secara masif seperti di Indonesia, makanya mereka banyak pakai incinerator. Ya jangan ikut-ikutan negara-negara yang kondisinya sangat berbeda dong.
Nah polemik-polemik di atas membuat pemerintah pusat maupun daerah pusing tujuh keliling. Sebenarnya sih sah-sah saja masing-masing ada solusi dan niatnya toh baik. Tapi, kalau bisa ayo pusatkan energi kepada musuh bersama, yaitu sampah plastik konvensional. Itu yang harus dimusuhi.
Dan solusinya juga beragam dan sama baiknya, yaitu penanganan sampah yang lebih baik lagi, pakai ulang dimana tepat (bawa botol plastik sendiri ya!), daur ulang dimana bisa dan ekonomis (seperti botol mineral kita), dan pakai yang mudah terurai dimana produknya tipis praktis dan tidak ekonomis untuk didaur ulang (misal kantong plastik maupun kantong sampah yang murah hemat energi, lalu tinggal dibuat mudah terurai saja), beres kan.
Ayo kerja sama, buktikan saja masing-masing ada kontribusinya yang positif, yang penting sama-sama perangi pemakaian plastik konvensional yang sulit terurai, sulit didaur ulang, dan sebagainya. Semua usaha-usaha itu ramah lingkungan loh, bukan hanya solusi tertentu saja.
Semua niatnya baik dan ayo didukung. Yang penting jangan status quo karena kita sudah lihat akibatnya sampah plastik menumpuk parah. Teman-teman aktivis jangan mengerti sedikit lalu gembar-gembor sana sini. Pemerintah juga jangan terburu-buru ‘banned’ sana-sini, ini-itu tanpa mengerti dan bijak. Dapatkan informasi yang berimbang dan holistik.
Oleh Puput TD Putra, Ketua Ketua Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPLI)