Artikel ini ditulis oleh Perwakilan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi dari Jawa Barat, Syafril Sjofyan.
Sejak dulu sampai sekarang Islam di Indonesia, dengan berbagai ormas Islam dikenal moderat dan sangat toleran.
Umat Islam di Indonesia telah mengemban amanah ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga tidak menimbulkan ketakutan pada umat lain.
Kalangan minoritas non Islam di Indonesia tidak pernah merasa terancam.
Tapi, ketika menjadi minoritas, Islam terusir. Sebut saja di Burma, India, Bangladesh, Cina (minoritas Islam di Uighur).
Di beberapa negara Barat di mana Islam sebagai minoritas, diperlakukan secara rasialis, diejek dan malah dibunuh, diusir, dan rumahnya dibakar serta larangan berpakaian muslim dan beribadah.
Di zaman rejim Jokowi berkuasa, ada buzzer dan influencer serta beberapa menteri yang terpapar sekularisme serta dibiaya oleh para kapitalis.
Mereka sebarkan hoaks dan ujaran kebencian terhadap Islam. Serta berbagai kebijakan kementerian tentang azan, pendidikan PAUD, pesantren yang di stigma sebagai bibit terorisme.
Serta usaha melemahkan dan menghilangkan tokoh Islam dalam sejarah Indonesia.
Mereka memanfaatkan “ketakutan” di kalangan Barat dan RRC, dan ketakutan kalangan minoritas di Indonesia tentang kebangkitan Islam garis keras di Indonesia.
Mereka takut bahwa jika Islam garis keras akan berkuasa Indonesia nasibnya akan seperti Suriah dan Afghanistan.
“Ketakutan” tersebut “diciptakan” untuk mempertahankan kekuasaan dengan dukungan Barat dan Cina serta mendapatkan bantuan dana dari kalangan minoritas dari usaha mereka menyebarkan kebencian serta adu domba terhadap umat Islam.
Dimunculkannya daftar ulama yang dianggap radikal tidak diperbolehkan ceramah di masjid-masjid, departemen pemerintah dan BUMN.
Ditimbulkan ketakutan kalangan ulama, diincar kesalahannya, jika salah ucap di internal pengajian, dilaporkan sebagai pelanggaran pidana oleh para buzzerRP.
Bahkan BNPT menyebarkan bahwa di sumbar ada kelompok teroris mendirikan NII, dan akan menurunkan pemerintah yang sah dengan “golok”, sesuatu yang tidak masuk akal.
Baru-baru ini di bulan Ramadan seorang Rektor ITK di Kalimantan Timur, yang kemungkinan terpapar sekularisme, atau neo komunisme menjadi rasis dan merendahkan Islam.
Ulama dikriminalisasi dan menyempitkan ruang gerak para organisasi Islam dengan berbagai istilah stigma mereka lekatkan seperti “kadrun”, radikal dan intoleransi bagi yang bertentangan dan kritis terhadap kekuasaan.
Bahkan penangkapan beberapa ulama dan aktivis, tanpa alasan hukum yang logis. Sehingga menciptakan kecurigaan bagi sesama umat Islam.
Bahwa, di Amerika dan dunia Barat, Islamophobia telah menjadi catatan sejarah kelam. Namun sekarang PBB telah menetapkan dalam Sidang Umum 15 Maret 2022, Hari Internasional Melawan Islamophobia.
Penetapan Hari Internasional Melawan Islamophobia dalam SU PBB seharusnya menjadi momentum bagi negara-negara termasuk Indonesia untuk membuat aturan-aturan hukum terkait.
Di AS dimana “Combating International Islamophobia Act” telah lolos dari House of Representative (DPR) dan Senat di AS.
Di Kanada, upaya tersebut bahkan datang dari eksekutif dan legislatif, Pemerintah Kanada bermaksud membentuk badan khusus melawan Islamophobia, dan sejumlah legislator telah mengajukan ‘Our London Family Act‘ sebagai RUU untuk melawan Islamophobia.
Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, mestinya tampil aktif dan terdepan menjalankan keputusan SU PBB yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia dalam upaya menghadirkan toleransi, harmoni dan moderasi dengan sukseskan perlawanan global terhadap Islamophobia.
Mengingat hal tersebut, KAMI Lintas Provinsi menyatakan:
1. Meminta Pemeritah Jokowi hentikan rekayasa menyerang, melemahkan dan akan menghancurkan umat Islam.
2. Meminta Presiden Jokowi menindak tegas jangan justru “membiarkan” para pejabat, penceramah, rektor, buzzer, influencer dan pihak-pihak lainnya yang terus menyebarkan Islamophobia dengan anti terhadap Islam, Al Quran, Nabi Muhammad, ulama, pakaian muslim dan apalagi terus mengaitkan Islam dengan radikalisme, terorisme, intoleransi dan hal-hal negatif lainnya. Jika Jokowi sebagai presiden tidak sanggup mengatasi hal tersebut sebaiknya mundur dari jabatannya.
3. Sebagai negara yang mayoritas Muslim, meminta Pemerintah Indonesia, DPR-RI dan DPD RI harus bertindak proaktif dalam merealisasikan kesepakatan SU PBB tentang Penetapan Hari Internasional Melawan Islamophobia tersebut dengan segera meratifikasi dan menyusun RUU untuk melawan Islamophobia.
4. Pemerintah harus menindak tegas dan menangkap setiap orang yang menghina Islam, termasuk ulama dan pemeluknya, seperti yang dilakukan Rektor ITK Profesor Budi Santoso harus diberhentikan secara tidak hormat dan dipidanakan, sebagai bentuk law enforcement dan shock terapy bagi para intelektual dan masyarakat lainnya.
5. Meminta agar setiap ormas Islam terutama MUI untuk segera membentuk badan khusus melawan Islamophobia.
[***]