Artikel ini ditulis oleh Agustinus Edy Kristianto, Wartawan Senior.
Peribahasa “lidah tak bertulang” nyata adanya dalam diri Presiden Jokowi. Ia mudah mengatakan (menjanjikan) sesuatu, tapi melenceng dalam pelaksanaan.
Lalu, apa dasarnya kita harus percaya perkataannya yang akan “taat Konstitusi” soal usulan 3 periode?
Dalam hal kekuasaan, ia ambisius. Pembawaan seolah tenang tapi menyimpan dapur lava yang penuh gejolak bara. Bagi saya, ia menyetujui gagasan 3 periode itu, secara tidak langsung atau diam-diam, meminjam tangan orang, dalam pikiran dan hal-hal tak terlihat lainnya.
Alasannya pertama, ia cacat kredibilitas. Janji tuntaskan periode Gubernur DKI tapi berhenti di tengah jalan. Kedua, ia bilang “taat konstitusi” tapi kita tahu semua bahwa konstitusi bisa diubah tergantung konstelasi dan gizi politik di MPR. Saat ini diduga kuat pasal 3 periode akan disusupkan lewat pembahasan pokok haluan negara dalam UUD 1945.
Ketiga, pusat gempa usulan 3 periode adalah Istana, berhulu dari para pembantu dan orang dekatnya. Tempo melaporkan bahwa Menko Marives LBP berada di belakang suara kepala desa yang serukan 3 periode itu, LBP adalah Ketua Dewan Pembina Apdesi.
Ketum PKB Muhaimin Iskandar, yang gencar dukung 3 periode, adalah adik Menteri Desa Abdul Halim Iskandar. Wakilnya, Budi Arie Setiadi, adalah Ketua Umum Projo. Lalu ada Relawan Jokowi-Prabowo 2024. Kelompok ini yang sejak dulu terang-terangan akan mendorong MPR mengamendemen UUD 1945, sementara kita tahu Prabowo adalah Menhan.
Tak hanya urusan pemakaian barang impor, bodoh banget kita (pinjam istilah Jokowi) kalau tidak bisa melihat fakta setelanjang itu.
Jokowi diam saja terhadap ‘aktor intelektualis’ 3 periode di sekelilingnya itu. Takut? Jadi, tak usah nasihati masyarakat tentang ketaatan terhadap konstitusi. Urus pembantu Anda saja itu.
Katanya tak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Mana buktinya?
Big data 110 juta warganet mendukung Jokowi 3 periode adalah bualan lukisan langit. Jika sekarang abad pertengahan, rakyat mungkin masih bisa dibohongi. Anak SD sudah tahu apa itu big data.
Data quality atau kualitas data adalah hal yang terpenting dalam big data. Menurut TechTarget, “data can be a strategic asset only if there are enough processes and support mechanisms in place to govern and manage data quality. Data quality is a measure of the condition of data based on factors such as accuracy, completeness, consistency.”
Tidak bisa berargumen dengan hanya menyatakan: “masa pemerintah bohong.”
Mana datanya? Bagaimana kualitasnya? Galaknya doang ditonjolkan, mutu nol besar.
Kekuasaan dan uang adalah motif paling kuat bagi politikus untuk menggulirkan perpanjangan jabatan. Kekuasaan bisa membuat Anda banyak uang.
Kebijakan larangan ekspor batu bara pada peralihan 2021-2022 lalu menunjukkan bisa diblok oleh kekuasaan menteri, yang juga pengusaha batu bara. Alhasil, mereka bisa menikmati untung dari kenaikan 187% harga batu bara hanya dalam 3 bulan.
Kekuasaan yang diperpanjang akan membuat Anda mengendalikan Rp2.000 triliun APBN/tahun (jika 10% menguap karena korupsi maka ada kue Rp200 triliun untuk dinikmati), mengelola Rp500-an triliun anggaran IKN, dan sebagainya. Itu duit, bukan daun singkong!
Tidak betul bahwa kita beruntung mendapatkan Jokowi sebagai presiden. Padahal siapa saja presidennya, sumbangan terbesar adalah pajak rakyat (mayoritas/26,8% adalah PPN yang kita bayarkan dan tetek bengek pajak penghasilan).
Pajak kita membayar gaji menteri yang bilang bahwa kita beruntung memiliki Presiden Jokowi itu. Sementara kita menikmati berbagai kenaikan harga sembako, bahan bakar, dan pungli birokrasi. Apa untungnya?
Sudahlah. Jangankan 3 periode. Lengser saat ini pun belum tentu bisa cepat memulihkan keadaan dan karat-karat korupsi birokrasi yang menempel.
Tapi, jika pemilu diadakan sesuai dengan aturan Konstitusi (tanpa perlu dilumuri hawa nafsu untuk mengubah-ubah aturan 3 periode), kita membuktikan diri sebagai bangsa yang taat, tidak mencla-mencle, tidak disetir politikus ambisius.
Kita memiliki harapan baru akan regenerasi kepemimpinan yang bisa mengubah keadaan jadi lebih baik.
Siapa pemimpin itu, saya tidak tahu, tapi mulai sekarang kita bisa mengawasi proses dan menilai secara lebih detail para calon yang mulai bermunculan.
Sebab, kekuasaan terbesar suatu bangsa berada justru di tangan mayoritas rakyat yang tak memegang kekuasaan apa-apa, bukan di tangan menteri cum pengusaha batu bara.
[***]