HAMPIR dapat dipastikan bahwa reklamasi Teluk Jakarta menyimpan misteri kuat yang perlu dibongkar tuntas ke publik. Ada dugaan kuat bahwa dalam reklamasi itu pasti terkait dengan pedanaan dalam transaksi politik dan kekuasaan.
Kalau dilihat dari mulanya, reklamsi ini jalan sudah tersandung sejumlah masalah. Mulai dari aroma kongkali kong antara Pemprov DKI dibawah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di mana izin reklamasi yang dikeluarkan Ahok belum memiliki perda. Bahkan terkait soal Perda, Direktur Eksekutif Podomoro, Ariesman Wijaya dan M Sanusi, anggota DPRD DKI masuk penjara.
Beberapa kali sidang gugatan di pengadilan, Pemprov DKI selalu kalah. Ini membuktikan bahwa proses perizinan yang dikeluarkan oleh Gubernur Basuki, melanggar hukum dan aturan. Dari proses yang terburu-buru dan kesan disembunyikan dari pantauan dan pengamatan publik, praktisi lingkungan dan para ahli, sudah menduga ada yang disembunyikan.
Jika melihat dari Proyek hengki-pengki ini, melalui sudut pendanaan, pasti sangat besar dan fantastis. Bagaimana tidak pulau buatan itu sudah pasti butuh pengeluaran dana ratusan bahkan ribuan triliunan. Sehingga dana puluhan triliunan untuk membungkam parpol pendukung dan ‘cost’ politik pasti gampang saja mengucur.
Konon, sebelum Pilgub DKI, ada berita Rp12 triliun yang dikeluarkan oleh pengembang untuk membujuk parpol pengusung cagub yang keluarkan izin reklamasi. Dengan harapan cagub-nya bisa menang lagi dan proyek reklamasi pun mulus dan moncer.
Kegigihan Menko Maratim saat dijabat oleh Dr Rizal Ramli untuk hentikan reklamsi itu pun membuatnya terpental dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Jendral (Purn), Luhut Binsar Panjaitan pun begitu menggantikan RR panggilan akrab Rizal Ramli, tancap gas. Mau meneruskan reklamasi meski ditentang oleh para aktifis, mahasiswa dan nelayan.
Bahkan, terbetik berita Pemerintah Pusat mau ambil alih reklamasi ini. Padahal usulan hentikan reklamsi di era Menko Rizal Ramli sudah melalui kajian dari berbagai pakar dan ahli. Sehingga, jika Pusat mau ambil alih dan meneruskan terlihat aneh dan mencurigakan.
Kenekatan dan ngototnya Pemerintah di bawah Joko Widodo, dapat dianggap otoriter dan abaikan suara rakyat. Karena, tidak setuju dengan reklamasi Teluk Jakarta. Tapi selain faktor ketidaksetujuan warga DKI, reklamsi ini memang menyimpan dana besar seperti yang sudah disinggung di atas.
Dana trilunan itu bisa menjadi ‘money politics’ untuk menjaga reklamasi tetap jalan lancar dan juga membungkan parpol atau tokoh parpol yang mata duitan untuk biayai partainya.
Konon, ada ketum partai yang menerima puluhan trilun untuk memuluskan jago mereka yang sudah keluarkan izin reklamasi duluan.
Soal isu dana yang mengalir dari taipan pengembang semakin santer di bicarakan di publik. Seminar ‘Stop Reklamasi’ beberapa waktu lalu di Gedung DPR, Amien Rais dukung penghentian reklamasi dan usut isu dana Rp10 Triliun.
Jika, DPR, parpol, tokoh dan aktifis mau saja bersama sama menyuarakan stop reklamasi, maka tidak ada pilihan lain, Presiden harus keluarkan Keppres untuk stop reklamasi.
Dan untuk menghilangkan kecurigaan masyarakat terhadap adanya dana politik dalam proyek reklamasi yang dianggap didukung pemerintah, maka pengusutan dana politik untuk harus mendapat perhatian pemerintah.
Demi membersihkan diri dari kecurigaan publik terhadap peran Istana bermain dalam kasus reklamasi, maka Presiden Joko Widodo memerintahkan kepolisan dan kejaksaan untuk usut dana tersebut. Begitu juga KPK harus berani untuk turut mengusutnya. Dengan demikian KPK tidak dianggap sebagai antek Istana.
Oleh Muslim Arbi, Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (Galak)