MENURUT saya, memang sulit menahan diri dari sikap kepo (ingin tahu) terhadap masalah orang lain.
Pertanyaan ‘mengapa’‎, ada apa sih, lebih lancar meluncur dari bibir ketimbang pertanyaan yang bernada empati terhadap perasaan.
Padahal pertanyaan itu tidak memberi hasil apa-apa, selain hanya memuaskan penanya.
Lalu apa dong batasan yang bisa dilakukan? Jawabannya, jika kita benar-benar empa‎ti, maka fokuslah.
Jangan-jangan ia sangat butuh melepaskan emosi negatifnya.
Perasaan seperti air, butuh diberi jalan untuk mengalir. Jika tidak diberi got, ia akan muncrat ke mana-mana, tidak karuan.
Jadi, kita butuh membantu menyediakan got.
Pertanyaan berbunyi ‘kamu sedang sedih ya?’, itu bisa jadi pintu masuk ke got.
Di mulut got, bias jade mampet karena banyak sampah karena berbagai perasaan. Sehingga barangkali ia bilang ‘tidak’ ketika ditanya.
Karena belum pas atau bahkan dia tidak bisa mengenali perasaannya.
Tebak saja terus dengan kata perasaan yang lain misal sebal, kesal, kecewa, dan sebagainya.
Sampai ia akhirnya membuat sampah di mulut got itu buyar dan air mengalir lancar.
Jika perasaanya sudah mengalir, maka ia akan merasa lebih baik. Kita bisa lanjutkan bertanya, “lalu sekarang apa yang kamu pikirkan?”.
Lanjut lagi dengan pertanyaan, “lalu sekarang apa yang kamu ingin lakukan”. Sama sekali jangan bertanya dengan kata ‘mengapa’.
Jika apa yang dia pikirkan dan inginkan benar dan aman bagi dia, kita bisa mendorong dia untuk membuat rencana dan bagaimana merealisasikannya.
Sebaliknya, jika tidak benar dan tidak aman bagi dirinya, kita pertanyakan lagi dan lagi.
Apakah itu benar-benar akan menghilangkan perasaan negatifnya, dan apakah dia sudah mempertimbangkan konsekuensinya.
Selanjutnya, bantu teman baper kita membayangkan konsekuensinya. Jika ia tetap ingin melakukan hal yang tidak benar dan tidak aman bagi dirinya, maka kita dorong ia mengunjungi konselor yang profesional.
Oleh Elly Risman, Pakar Parenting, Yayasan Kita dan Buah Hati. Tulisan ini juga dimuat di buletin Yatim Mandiri Edisi Agustus 2016