KedaiPena.Com – Wacana pemerintah untuk menerbitkan recovery bond sebagai langkah menopang likuiditas dunia usaha yang terguncang akibat pandemi Corona Virus Disease atau Covid-19 menuai berbagai tanggapan.
Ekonom Senior Rizal Ramli menilai jika recovery bond jauh lebih berbahaya daripada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Skema aliran dana segar recovery bond melalui surat utang yang dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dari swasta untuk pemerintah dan disalurkan kepada dunia usaha dengan skema kredit khusus, bisa berujung pada kebangkrutan. Rizal Ramli mengulas sejarah BLBI pada era reformasi.
“Masih ingat pada waktu BLBI US$ 80 miliar pada tahun 1998-1999, bank yang dapat BLBI, grup perusahaannya harus menyerahkan aset, tanah, gedung dan saham perusahaan. Kalau yang bagus, dia kasih aset yang bagus-bagus seperti Salim Group, tetapi ada yang brengsek kasih aset busuk,” tegas Rizal, Jumat (8/5/2020).
Jika dihitung, recovery rate uang kembali dari BLBI hanya 25% saja. Naasnya, recovery rate Indonesia paling rendah dari seluruh dunia karena pejabatnya banyak main ‘pat gulipat’.
Lantas, apa bedanya recovery bond dengan BLBI? Mungkin terdengar keren. Dengan istilah recovery bond. Padahal, tukas Rizal Ramli, jauh lebih berbahaya daripada BLBI. Alasannya, jika pemerintah atau swasta menerbitkan bond tersebut, Bank Indonesia wajib beli di pasar primer.
Apa yang mungkin terjadi? Jika sebuah perusahaan bangkrut, maka sisa aset harus dibayarkan kepada kreditor yang mendapat jaminan dan yang terakhir adalah kreditor yang tidak memiliki jaminan apapun. Bank Indonesia (BI) wajib membeli, tidak ada jaminan. Sehingga jika terjadi sesuatu, BI hanya akan mendapat nol.
“Maka dari itu, Gubernur Bank Indonesia benar sekali tidak setuju dengan recovery bond itu. Saya katakan, posisi BI bagus karena hati-hati. Jika Gubenur BI dan Menkeu setujui rencana abal-abal itu, setelah ganti pemerintahan nanti bisa masuk penjara. Pejabat-pejabat keuangan saya ingatkan hati-hati, karena akan lebih vulgar dari BLBI. Bisa masuk penjara,” tandasnya.
Sebab, ketika uang dicetak maka timbul inflasi dan rupiah akan anjlok. Hari ini, dari Rp 15.000/US$ anjlok menjadi Rp 20.000 dengan gampang sekali.
“Kalian mau menghancurkan ekonomi Indonesia atau mau memperbaiki ekonomi Indonesia? Apa motifnya? dan apakah mau menilep lagi? Jangan lupa, setiap krisis selalu menbuka kesempatan untuk menilep dan rampok untuk memperkaya diri,” tegasnya.
Terlebih, di tengah likuiditas, bukan hanya pemerintah namun korporasi juga akan mengalami gagal bayar. Rizal Ramli menganalogikan Corona seperti keris raksasa yang jatuh dari langit.
“Kalau kamu adalah raksasa atau pemerintah sok-sok menahan kejatuhan keris itu, maka akan luka-luka karena kita tidak kuat. Bank Indonesia tidak kuat karena sebagian cadangan devisa dari dari uang pinjaman. Jadi, biarkan dulu keris raksasa jatuh ke tanah, barulah kita lakukan program akselerasi recovery,” ungkap mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia era Gus Dur tersebut.
Anggap saja jika hari ini korporasi swasta dibantu, misalnya sejumlah Rp 300 triliun pun tidak akan bisa banyak menolong. Bahkan buntutnya dipakai untuk membeli aset di luar negeri, valuta, atau mungkin untuk spekulasi. Sebab tidak ada demand sesuai hukum ekonomi.
“Kita biarkan Corona selesai baru kita percepat akselerasinya. Ini kebalik-balik cara berpikirnya. Istilahnya, apabila korporasi diberikan uang melalui recovery bond sejumlah Rp 300 triliun, mau dipakai apa kalau demand saja tidak ada,” jelasnya.
Rizal Ramli juga meminta agar anggota DPR RI bisa berpikir jernih. Seyogyanya partai-partai di deretan kursi dewan berhenti menyetujui segala hal yang membahayakan ekonomi Indonesia dan merugikan rakyat. Pihaknya yakin jika Presiden RI Jokowi mendengarkan penjelasan ini juga akan berubah pikiran.
“Saya dengar hanya satu partai dukung perpu ugal-ugalan itu. Partai-partai lain pada dasarnya tidak setuju dan pasti curiga. Kenapa partai itu terlalu semangat? Ada apa sebenarnya?” ungkap Rizal.
Laporan: Muhammad Lutfi