KedaiPena.Com – Di awal kampanye terbuka calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada warga Dumai, Riau, pada 17 April 2019 untuk berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara (TPS) menggunakan baju putih.
Seruan menggunakan baju putih atau ‘kita adalah putih’ sendiri sesuai dengan pakaian yang akan dikenakan oleh Jokowi-Ma’ruf di surat suara pada masa pencoblosan tanggal 17 April nanti.
“Hari Rabu tanggal 17 April jangan lupa ajak teman-teman kita, saudara kita, untuk memilih yang baju putih. Pilih yang bajunya putih, karena putih adalah kita. Sudah jelas semuanya, jelas semuanya,” tutur Jokowi kalau itu.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai bahwa seruan ‘kita adalah putih’ berpotensi disalahtafsirkan oleh banyak pihak.
“Persepsi masyarakat atas pernyataan Jokowi tersebut akan berbeda-beda, ” ujar Ujang kepada KedaiPena.Com, Kamis, (28/3/2019).
Ujang menjelaskan salah satu potensi salah tafsir paling besar dengan seruaan kita adalah putih terciptanya persepsi golongan putih atau golput di kalangan masyarakat.
Hal ini juga selaras dengan LSI Denny JA memprediksi kalau angka golput bisa terus naik. Hal tersebut merujuk berdasarkan data golput yang terdapat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 3 Pemilu terakhir.
Angka golput pada Pemilu 2004 sebesar 23.3 persen, pada 2009 sebanyak 27.45 persen, dan terakhir 2014 naik sebanyak 30.42 persen.
LSI Denny JA pun membuktikannya melalui survei yang dilakukan pada 18-25 Februari 2019. Berdasarkan data yang dihimpun, mereka menemukan sebesar 65.2 persen masyarakat yang tahu kapan pemilu akan diselenggarakan, sedangkan 29.5 persen tidak mengetahuinya.
“Harus disampaikan dengan jelas. Tidak bersayap. Dan tidak multi interpretasi, ” pungkas Ujang.
Laporan: Muhammad Hafidh