Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SEJARAWAN G.J Resink menyebut Orde Lama sebagai Vorstenlandse Republik atau Republik Keraton, dimana Sukarno menempatkan diri sebagai Waliyul Amri, Penyambung Lidah Rakyat, Nelayan Agung, Panglima Tertinggi, Paduka yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, dan seterusnya.
Sukarno menurut sejarawan Bernhard Dahm ialah Raja Jawa Berpeci, yang oleh para pengikutnya dianggap Ratu Adil. Tapi waktu berkuasa selama 22 tahun tidak membangun kerajaan keluarga. Tidak menunjuk anak, menantu, atau para kerabat kala itu, misalnya, jadi walikota, terjun ke lapangan politik, atau jadi businessman dadakan, dengan jualan martabak, pisang goreng, dengan aset triliunan, dan menguasai berpuluh-puluh perusahaan.
Soeharto di masa Orde Baru mengidentikkan diri sebagai seorang Prabu. Sehingga waktu turun dari kekuasaan menyebut diri Lengser Keprabon, atau Prabu yang turun takhta dari kerajaan.
Dengan mengidentikkan diri sebagai seorang Prabu, Soeharto ingin menjadi penguasa absolut seperti raja-raja Jawa yang penuh simbol, seperti Paku Buwono, Paku Alam, Mangku Bumi, dan seterusnya, yang bila Paku dicabut maka Buwana chaos. Apabila penguasa tak “mangku bumi” maka terjadilah ketidakseimbangan.
Alih-alih mendorong lahirnya demokrasi yang berkeadilan dan berkorelasi kepada kesejahteraan rakyat belakangan ini sedang muncul gejala kuat lahirnya kerajaan baru, yang oleh publik disebut Kerajaan Keluarga Jokowi.
Masyarakat kini mensinyalir ada skenario besar yang sedang dibangun oleh Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan dengan membentuk kerajaan keluarga.
Setelah skenario perpanjangan masa jabatan presiden dikritisi secara tajam oleh publik gagal di tengah jalan, kini Jokowi diduga sedang membangun kerajaan keluarga yang melibatkan anak-anaknya terjun ke dunia politik.
Menyusul Gibran yang walikota Solo, Bobby sang menantu yang walikota Medan, Kaesang diberitakan bakal mengikuti jejak yang sama. Gibran kabarnya diproyeksikan akan jadi gubernur Jakarta, sedangkan Kaesang menempati posisi walikota Solo.
Kondisi yang menggambarkan kemunduran demokrasi ini jelas memperlihatkan bahwa kita terjebak dalam kesalahan memilih pemimpin, sehingga hari ini feodalisme berupa kerajaan keluarga menjadi bahaya laten yang merusak demokrasi namun dengan mengatasnamakan demokrasi.
“Dalam situasi sekarang wajah dinasti politik atau kerajaan keluarga bisa bersembunyi di balik politik elektoral,” tandas pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, sebagaimana dikutip media online.
Menurutnya, kini muncul semacam model baru dinasti politik di era demokrasi liberal dan digital. Yaitu kesannya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, namun motif sesungguhnya adalah membangun dinasti atau kerajaan keluarga agar keturunanya terus berkuasa.
Di zaman feodal kepemimpinan ditentukan oleh birthright. Yaitu semacam hak lahir. Seseorang merasa dirinya berhak menjadi penguasa karena dilahirkan sebagai anak atau kerabat penguasa.
Mindset birthright ini hanya ada di dalam diri orang yang tidak memahami demokrasi dan tidak pernah berjuang dalam menegakkan demokrasi.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli secara lugas mengatakan, tanpa malu-malu Jokowi sedang mempersiapkan kerajaan keluarga.
Padahal, menurutnya, jauh lebih baik Jokowi dan keluarga menahan diri, punya urat malu, dan tidak kemaruk kekuasaan, karena Jokowi gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
“Jokowi tidak pernah berjuang untuk demokrasi, bisa menjadi presiden karena demokrasi. Setelah berkuasa mempreteli demokrasi dan mempersiapkan kerajaan keluarga,” tegasnya, seperti dikutip dari akun twitter-nya belum lama ini.
Kini memang sudah saatnya menghentikan rekrutmen kepemimpinan dengan cara mencanggih-canggihkan diri melalui pencitraan yang bersifat manipulatif seperti “kesederhanaan”, “kesantunan”, “gaya sok merakyat”, yang ternyata bertendensi hipokrit.
Raja-raja despot di Nusantara dulu juga mencanggih-canggihkan diri dalam membangun kerajaan keluarga melalui mitos-mitos dan menulis sejarah dalam pujasastra untuk menutupi kegagalan. Meski hasilnya dongeng belaka.
[***]