KedaiPena.Com – Meskipun kerap dikritik berbagai kalangan, ternyata Pemerintah melalui Kementerian Keuangan tetap ngotot melakukan kebijakan pengetatan anggaran alias austerity policy seperti yang digariskan Bank Dunia. Kali ini korbannya adalah komponen dana bagi hasil untuk daerah (DBH).
Beberapa hari lalu, Pemerintahan dan DPRD Kabupaten Kutai Timur berencana untuk mendatangi Kementerian Keuangan di Jakarta untuk mempertanyakan Permenkeu tanggal 13 Desember 2017 tentang pemotongan anggaran DBH untuk Kutai Timur, dari yang seharusnya Rp 148 miliar menjadi hanya Rp 8,9 miliar.
Disebutkan, warga Kutai Timur merasa sangat dirugikan karena anggaran yang dipotong Menteri Keuangan tersebut seharusnya dapat dipergunakan untuk membayar tunggakan kepada kontraktor, gaji ketua-ketua RT, dan penyelenggaraan PAUD.
Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) menyayangkan kejadian ini.
“Tahun depan sudah masuk tahun politik, tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani masih saja mengeluarkan kebijakan yang merugikan popularitas Presiden Jokowi. Kasus daerah Kutai Timur hanya salah satu yang terungkap, pasti masih banyak daerah lain yang tertimpa masalah yang sama tapi belum berbicara saja,” kata dia kepada KedaiPena.Com, Minggu (31/12/2017).
Gede menyebutkan, akibat dari kebijakan pemotongan anggaran (austerity policy) Sri Mulyani, akan terjadi pelambatan perekonomian daerah dan ketimpangan pendapatan masyarakat.
Para pengusaha lokal rekanan pemda akan megap-megap, yang juga akan berimbas kepada memburuknya kesejahteraan para pekerja mereka. Tidak heran, inilah penyebab upah riil pekerja konstruksi terus menurun selama ini.
Daya beli sebagian masyarakat, yang selama ini sebagai penerima gaji sebagai RT, juga akan terganggu. Dan yang terburuk, anak-anak mereka akan memburuk aksesnya pada pendidikan karena anggaran PAUD terganggu.
“Ini adalah suatu hal yang paradoks. Di satu sisi Presiden ingin kebijakan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki ketimpangan, serta membangun SDM. Namun di sisi lain Menteri Keuangan Sri Mulyani malah berkebijakan yang dampaknya bertentangan,” tutup Gede.
Laporan: Irfan Murpratomo