ANIES Baswedan sudah memulai perjuangan panjang dan berliku ketika mengumumkan rezimnya pro pribumi. Di negara negara bekas jajahan diberbagai belahan dunia seperti Amerika Latin, Afrika dan Asia keinginan pribumi untuk jadi tuan di negeri menjadi isu sentral dan dambaan mayoritas masyarakatnya.
Namun, Amy Chua, seorang profesor keturunan China Philipina dari University of Yale melihat pertarungan pribumi saat ini semakin sulit di zaman demokrasi. Menurut Chua, kelompok minoritas di berbagai belahan dunia semakin kaya sejak demokrasi pasar bebas diadopsi mereka. (Chua, World on fire, 2002).
The Economist, sebuah majalah ternama di dunia, 13 tahun lalu menurunkan tulisan investigasi tentang perjuangan pribumi di negara negara latin Amerika yang didominasi kulit putih.
Kondisi negara negara latin, dari Bolivia, Peru, Paraguay, Brazilia, Argentina, Equador dan sebagainya terjebak dalam keterjajahan yang berkelanjutan setelah merdeka dari Spanyol. Amerika latin yang kaya resources, minyak, gas, timah, emas, hutan dlsb, disedot untuk kemakmuran negara negara barat dan menyisakan kemiskinan bagi kaum pribumi Indian.
Dengan judul “Political Awakening”, the Economist mencoba menggambarkan perjuangan bangsa pribumi di sana terpisah dalam skim demokrasi, Guerilla dan bahkan ada yang menjadi kelompok ekstrimis (dianggap sebagai kartel narkoba). Perjuangan Morales menjadi panutan 45 juta jiwa Indian di Amerika Latin, karena keberhasilannya merebut kekuasaan secara demokratis.
Perjuangan menjadikan pribumi sebagai tuan rumah di negara latin bagi bangsa Indian bukanlah hal mudah. Namun hal itu dapat diatasi dengan 3 hal. Pertama, perjuangan itu telah menyatukan spirit kepribumian, sosialisme dan sedikitnya dukungan Katolik (teologi pembebasan). Kedua, pengorganisasian rakyat berlangsung lama, khususnya pengorganisasian petani Coca di Bolivia, dan menempuh jalan terjal. Ketiga, tokoh tokoh lintas negara latin saling mendukung bangkitnya kaum pribumi.
Ketidakmudahan perjuangan terlihat misalnya, Evo Morales sendiri, harus mengalami hujatan, penyingkiran politik dan lain sebaginya. Di negara tetangga, ketika dulu di Venezuela, Hugo Chavez, dan Brasil, Lula Da Silva, mengalami pertarungan yang tidak kalah menyakitkan. Chavez pernah disingkirkan Amerika dari kekuasaan.
Meski isu harapan adanya dominasi pribumi Indian di Amerika Latin masih berlangsung hingga kini, namun ketersingkiran rakyat pribumi di sana tidak lagi terjadi sesukanya. Kehadiran negara dan pemimpin pro pribumi menjadikan mereka lebih bermartabat.
Perjuangan menjadikan pribumi diakui eksistensinya di benua Afrika mungkin lebih menyakitkan dari apa yang terjadi di Amerika Latin. Meskipun itu bukan sesuatu yang bisa diperbandingkan.
Nelson Mandela, tokoh utama Afrika, telah berhasil mendudukkan pentingnya orang kulit hitam Afrika mengendalikan kehidupan bangsanya sendiri. Dominasi kulit putih baik di masa kolonial maupun paska kolonial, telah mendudukkan mayoritas kekuasan dan penguasa Afrika hanya sebagai boneka asing.
Bahkan, di Afrika Selatan, Mandela terjerat dengan era paska kolonial dengan kulit putih memegang hak kendali atas pemerintah negara tersebut, bahkan dengan politik diskriminatif yang legal (apartheid), di mana selain orang hitam dibatasi hak hak politik nya, mereka juga diatur untuk menjadi penduduk kelas dua.
Perjuangan Mandela berakhir selama 27 tahun di Penjara, setelah melalui politik Guerilla dan Clandestin. Dengan penderitaan Mandela dan pengorganisasian pemberontakan kulit hitam, akhirnya Mandela berhasil memimpin Afrika Selatan dan berusaha menjadi orang orang kulit hitam sebagi rakyat utama.
Di Indonesia perjuangan menjadikan Pribumi menjadi superior, sudah dimulai bapak bangsa ini, Bung Karno, di masa lalu. Bung Karno telah membangkitkan semangat bangsa pribumi dengan melakukan dekolonialisme ekonomi, politik dan budaya.
Secara ekonomi, dia memutus mata rantai ekonomi dengan Belanda dan barat dengan menasionalisasi perusahaan perusahaan asing, melakukan politik Banteng, dengan membentuk elite saudagar pribumi serta membatasi pedagang pedagang Cina masuk ke tingkat kabupaten, serta memperkuat hubungan dagang dengan blok timur. Upaya ini hancur di masa rezim orde baru, yang mematikan semua pengusaha pribumi dan memajukan pengusaha non pribumi.
Di samping upaya ekonomi, Bung Karno juga memutus rantai politik dan kebudayaan Belanda dan barat di Indonesia. Sayang, sekali lagi, orde baru mengadopsi seluruh liberalisme dan kapitalisme barat, menghancurkan apa yang sudah dibangun Soekarno. Sehingga nasib Pribumi untuk menjadi tuannya sendiri tersingkir.
Di masa reformasi ini situasi semakin kejam. Orang orang semakin benci dengan istilah Pribumi. Ketersingkiran pribumi acapkali dianggap menimbulkan isu rasial. Sebuah kontradiksi terhadap apa yang dilakukan Bung Karno dan founding fathers lainnya.
Munculnya isu pribumi menjadi superior bagi bangsanya sendiri baru terjadi ketika Anies melakukan politik pemihakan saat ini. Namun, cercaan terhadap Anies, baik dari anasir-anasir kapitalis, maupun kebencian emosional semata, membuat pertanyaan muncul: apakah Anies akan melanjutkan perjuangan founding fathers kita, Bung Karno dkk?
Pertanyaannya lagi adalah apakah perjuangan pribumi itu mempunyai landasan yang kokoh? Baik secara teoritis maupun praktis?
Perjuangan menegakkan supermasi pribumi di tanah air mereka sendiri setidaknya dapat ditelaah dalam dua perspektif teoritik, yakni teori “Post Colonialism” dan “Nathie”, yang akan diurai sebagai berikut.
1) Post Colonialism
Teori Post Kolonialisme adalah sebuah teori tentang “power” yang menjelaskan mengapa masyarakat yang dulu dijajah, meskipun sudah merdeka, tetap saja menderita atau seperti keterjajahan berlanjut. Dalam teori ini dijelaskan struktur ekonomi, budaya marginal pribumi dan politik kolonial mantan penjajahnya tetap saja tidak berubah.
Ketergantungan ekonomi dan politik terhadap negara penjajah terus saja berlanjut, dengan modus kerjasama pembangunan, pendidikan dan kebudayaan. Lebih parah lagi rasa inferiority sebuah bangsa terjajah, baik menurut Franz Fanon yang membedah dari sisi rusaknya mental, maupun Gramsci yang membahas dari teori hegemoni, menempatkan bangsa pribumi terjebak dalam budaya pinggiran dan selalu melihat bangsa penjajah sebagi bangsa superior.
Negara negara penjajah menjebak mereka dengan hutang dan bantuan pembangunan ekonomi serta ilmu pengetahuan yang menciptakan jebakan ketergantungan.
Meskipun teori ini banyak mendapat kritik, karena banyak fakta bangsa bangsa eks jajahan mampu bangkit, tapi setidaknya teori ini mampu menjelaskan munculnya fenomena perjuangan kaum pribumi diberbagai negara bekas jajahan, baik sebagai gerakan maupun sisi pemikiran.
Pada sisi pemikiran, beriringan dengan teori ini, muncul teori teori ketergantungan dengan menampilkan tokoh 2 pemikir dunia ketiga seperti Samir Amin, Paul Baran, Dos Santos, Immanuel Wallerstain, Andre Gudnar Frank , Adi Sasono, Sritua Arief dll.
Di Indonesia, Sritua Arif dan Adi Sasono dalam bukunya “Ketergantungan dan Keterbelakangan” melukiskan setiap pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia sebagai bantuan, menciptakan “jerat jerat rentenir” bangsa asing semakin parah.
Bagi penganut teori Post Kolonialisme, dan teori lainnya seperti teori struktural, teori depensi, teori sistem dunia dan lain lain, nasib pribumi tetap disebutkan butuh perjuangan untuk bisa menjadi tuan di negerinya sendiri. Sebuah jalan panjang.
2. Ethnie
Istilah “Nathie” dikemukakan Anthony D Smith of Londonl of Economics (LSE) – universitas ternama di Inggris, yang mencatat dua professornya yang sangat dalam memahami studi tentang bangsa (Nationalism Studies), yakni Erness Gellner dan Antony D. Smith.
Gellner, gurunya Smith memahami bahwa sebuah bangsa itu hanyalah fenomena modern. Sebuah bangsa terjadi karena proses interaksi sosial yang berkelanjutan dari masyarakat yang dinamik dalam sebuah teritorial. Olehkarenanya dia meyakini tidak ada yang disebut sebagai masyarakat asli.
Pikiran Gellner ini mirip dengan pikiran ahli ahli “nationalism” dan “identity” terkenal seperti Ben Anderson dan Eric Hobswam. Anderson berkeyakinan bahwa bangsa itu hanyalah sebuah “imajined community”, imajiner.
Namun, muridnya Gellner, Smith, mematahkan teori Gellner dengan mengemukakan teori meskipun sebuah bangsa adalah fenomena modern, namun eksistensinya dapat dirujuk pada group group etnis atau suku asli pembentuknya, atau yang disebut Smith sebagai “ethnie”.
Ethnie adalah sebuah suku bangsa, sebuah unit populasi dengan “common ancestry Myth and historical memories, element of share culture, some link with a historic territory, at least among theri elites”. Tanpa ethnie (suku bangsa) maka tidak mungkin ada sebuah bangsa.
Sebuah bangsa menurutnya harus berbagi wilayah bersama dalam sejarah yang panjang, mempunyai memori bersama tentang mitos mitos dan masa lampau, mempunyai hukum yang mengikat diantara mereka dan tugas bagi anggota masyarakatnya.
Dari dua teori di atas kita melihat bahwa perjuangan menjadikan pribumi superioritas bukanlah hal yang tabu.
Di luar masalah teoritik, kita tadi sudah melihat aspek sejarah perjuangan tokoh bangsa Asia, Afrika dan Latin. Bahkan fenomena terbaru saat ini, berbagai pemimpin dunia, baik yang menjadi presiden maupun pimpinan partai besar, saat ini masuk kembali kepada agenda superioritas bangsa aslinya sendiri, seperti “Make American Great Again” by Trump di USA, hal sama oleh Le Pen di Prancis, Wilder di Belanda, Morales di Bolivia, Kurz di Austria, Putin di Rusia dan sebagainya.
Tentu saja cara Trump di Amerika dan Kurz di Austria, yang menelurkan rasisme bagi warga negara mereka yang ber keturunan kulit bewarna, sebuah ekstrimitas yang tidak perlu ditiru. Namun, keinginan mereka untuk menjadikan bangsa asli sebagai masyarakat utama, tentu dapat dibenarkan. Kenapa? Karena dengan sistem “nation-state” yang kita anut saat ini, maka bangsa asli seharusnya adalah bangsa yang memiliki negaranya.
Untuk itu, sekali lagi, maka Anies adalah fenomena baru Indonesia, yang hendak mengembalikan cita cita Bung Karno untuk mereformasi struktur kolonial, di mana pribumi hanya kelas budak. Dengan keteguhan niatnya, jika konsisten selamanya, Anies pasti akan menyamai Bung Karno maupun Morales dan Mandela.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle